Bakar batu merupakan tradisi dan ritual yang sangat lazim dipraktikkan di Tanah Papua. Tradisi ini merupakan bagian dari kebiasaan yang melekat dalam kehidupan Orang Papua, dalam berbagai perhelatan yang dianggap penting dalam kehidupan mereka.
Ritual memasak bersama warga satu kampung ini, dilaksanakan sebagai sarana untuk memanjatkan syukur atas berbagai berkat yang melimpah, bersilaturahim, mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku, atau untuk mengumpulkan prajurit dalam situasi perang.
Tradisi bakar batu yang paling tua, merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Papua pantai, yang disebut dengan Barapen. Barapen yang dalam bahasa Biak berarti bakar batu, merupakan tradisi paling kuno pada masyarakat Tambrauw, Papua Barat dan Masyarakat Biak, Provinsi Papua.
Pada tradisi ini, warga secara bergotong royong membakar batu hingga panas, dengan cara menaruhnya di atas tumpukan kayu, dan dibiarkan hingga batu-batu tersebut benar-benar membara.
Bersamaan dengan itu, warga yang lain akan menggali lubang yang cukup dalam, dan tumpukan batu panas tersebut dimasukkan ke dalam lubang yang terlebih dahulu dialasi dengan daun pisang dan alang-alang.
Di atas tumpukan batu panas tersebut, dialasi lagi dengan tumpukan daun pisang, dan di atasnya akan diletakkan berbagai irisan daging, umbi-umbian, sayuran dan jagung.
Lazimnya pada tradisi ini, daging yang dimasak adalah daging babi. Namun sebagai bagian dari tradisi bagi Orang Papua yang beragama Islam, bakar batu pun bisa menggunakan daging lainnya seperti sapi, ayam maupun kambing. Tradisi bakar batu dengan lubang terpisah antara daging babi dengan daging lainnya ini bisa ditemui di masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jaya Wijaya, dan Kabupaten Teluk Bintuni, di Papua Barat.
Dengan ragam bahasa lokal, setiap suku di Tanah Papua pun mengenal tradisi bakar batu dengan nama yang lain pula. Suku Lani mengenal tradisi ini sebagai “Lago Lakwi”, di Wamena mereka mengenal tradisi ini sebagai “Kit Oba Isago”, sedangkan di Paniai mereka mengenal tradisi ini sebagai “Mogo Gapil”.
Yang pasti, tradisi ini tetap melekat pada masyarakat di Tanah Papua sebagai bagian dari adat istiadat yang tak lekang zaman.