Alkisah video YouTube “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya” yang diunggah oleh Haris Azhar melalui akun YouTubenya, kini menemui babak baru.
Pada hari Senin (06/03/2023) berkas perkara atas laporan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan menggunakan UU ITE, dinyatakan P21 dan diserahkan ke kejaksaan.
Ketika ditemui di Polda Metro Jaya, Haris menyatakan bahwa dengan bergulirnya proses ini justru akan menjadi ajang pembuktian di pengadilan atas konten yang dibuatnya bersama Fatia itu.
“Kami dengan senang hati akan memanfaatkan media publik atau forum publik yaitu pengadilan, untuk justru membuktikan apa poin yang kami sampaikan,” paparnya.
Haris dan Fatia yang pada saat itu didampingi tim kuasa hukum dari berbagai asosiasi, kemudian menuju ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur untuk menyerahkan berkas-berkasnya.
Nurkholis Hidayat, salah satu kuasa hukum Haris-Fatia berharap agar pihak kejaksaan bisa lebih jeli dalam mempelajari perkara ini, agar bisa dihentikan.
“Kami selama satu setengah tahun ini sudah berkomunikasi dengan pihak Kejaksaan agung dan kejaksaan tinggi untuk secara hati-hati menilai berkas ini, perkara ini, layak atau tidak untuk dianggap sebagai sebuah perbuatan pidana. Kami meminta kejaksaan dalam fungsinya untuk menghentikan perkara ini. Ini adalah kritik, seharusnya bukan sebuah tindak pidana,” tegas Nurkholis.
Dukungan Dari Berbagai Pihak
Kasus yang menimpa Haris dan Fatia mendapatkan dukungan publik, bukan hanya aktivis dan pengacara di ibu kota saja. Aliran suportif terhadap aktivis kontras ini sangat deras datang dari Tanah Papua.
Comas Refra, SH., MH, Ketua Dewan Penasihat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti hadir sebagai perwakilan untuk menunjukkan solidaritas dari Papua Barat.
Cosmas yang juga masuk dalam tim kuasa untuk Haris dan Fatia mengatakan bahwa kehadirannya adalah bentuk apresiasi kepada Haris dan Fatia karena selama ini sudah bersuara lantang tentang keadaan di Papua.
“Saya hadir sebagai perwakilan dari YLBH Sisar Matiti di Papua Barat, total dari lembaga kami ada 4 pengacara yang masuk dalam kuasa untuk Haris dan Fatia yang akan juga masuk ke Jakarta dalam waktu dekat ini. Kita berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Haris Fatia adalah kritikan, untuk kepentingan negeri dan Orang Papua. Tidak boleh dihambat apalagi dikriminalisasi. Kita meminta kejaksaan harus menghentikan perkaranya. Ini merupakan suara orang-orang Papua, karena selama ini Haris konsern terhadap permasalahan yang terjadi di negeri kami,” ujar Cosmas.
UU ITE Menjadi Senjata Andalan Untuk Membungkam Aktivis
Kasus Haris dan Fatia ini menambah daftar panjang aktivis dan masyarakat yang dibungkam dengan UU ITE. Dalam selang beberapa tahun ini, kriminalisasi terhadap masyarakat yang bersuara maupun aktivis sudah terjadi beberapa kali.
Melansir Tempo.CO, Pada tahun 2021, Jumhur Hidayat, aktivis Kesatuan Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) pernah dijerat karena cuitannya tentang RUU Cipta Kerja.
Jurnalis Watchdoc, Dandhy Laksono pada tahun 2019 juga terciduk dengan UU ini, karena mencuitkan tentang kondisi Wamena dan Papua.
Ravio Patra Asri, peneliti kebijakan publik diciduk karena dianggap mengirimkan pesan provokatif melalui WhatsApp Messenger pada tahun 2020. Pada saat itu, Ravio mengaku ada peretasan pada telepon selular miliknya, dan sengaja mengirimkan pesan tersebut.
Kritik itu koreksi, kok malah dihabisi?