
Menjadi pengetahuan umum bahwa kolonialisme pada sebuah wilayah membawa perubahan yang cukup siginifikan. Tak terkecuali soal produksi dan konsumsi makanan. Misalnya, bagaimana di masa penajajahan Belanda dulu, masyarakat dipaksan untuk menanam sejumlah komoditi dalam program cultuurstelsel.
Secara sederhana, program yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch (1780-1844) ini memaksa setiap desa untuk memberikan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor.
Pada masa itu, rakyat Nusantara dipaksa menanam aenka tanaman seperti tembakau, lada, teh, kopi dan kayu manis. Tak hanya soal tanam paksa, rakyat Nusantara kala itu juga harus memberikan tenaga mereka untuk pekerjaan penunjang seperti saluran irigasi, membuka sawah bahkan pembuatan jalan.
Namun dampak dari sistem Tanam Paksa ini tidaklah singkat. Sistem ini merubah sistem produksi pangan di Jawa. Mulai dari sistem kepemilikan tanah, tenaga buruh murah, perubahan ekonomi petani.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari strategi kolonialisme yang kemudian berdampak pada produksi pangan. Pertama, sistem kepemilikan tangan. Mengutip buku berjudul “Orang Indonesia dan Tanahnya”, sistem kepemilikan tanah ini dapat dibilang bentuk perampasan tanah.
Kolonial, menggunakan hukum agraria memangkas hak penguasaan tanah rakyat dengan cara mengkategorikan tanah dan hutan negara. Sebagai contoh, pembagian tanah seperti tanah milik negara, tanah terlantar, hutan negara dan lain sebagainya. Padahal, tanah ini sudah jelas kepemilikannya berada di tangan masyarakat hukum adat berdasarkan hak untuk memanfaatkan komunal (beschikkingsrecht).
Dampak tidak langsung dari strategi tanam paksa adalah hilangnya hak masyarakat, khususnya masyarakat adat atas kepemilikan lahan mereka. Mereka dianggap asing di tanah mereka sendiri, bahkan dianggap sebagai pemberontak ketika melawan aturan yang ada atas tanah mereka sendiri.
Kedua, kaitan antara kolonialisme secara umum dengan perubahan jalan pangan suatu wilayah. Secara umum, tujuan dari kolonialisme adalah merebut sumber daya suatu wilayah. Mengapa? Kontrol atas produksi dan konsumsi makanan telah menjadi sumber kekuatan dan kejayaan sejak zaman pra sejarah, bahkan hingga kini.
Kolonialisme jelas akan berdampak pada perubahan pola hidip masyarakat yang terjajah, termasuk pola produksi dan konsumsi pangan sebagaimana contoh di atas. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa dampak dari kolonialisme terhadap suatu wilayah dapat berkepanjangan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perubahan jalan pangan pada era kolonial dapat bertahan lama, bahkan ditirut oleh pemerintahan setelah era penjajahan atau setelah merdeka.
Contohnya dapat dilihat dalam jurnal yang ditulis oleh Permani C. Weerasekara bersama koleganya berjudul “Nutrition Transition and Traditional Food Cultural Changes in Sri Lanka during Colonization and Post-Colonization”. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana era pemerintahan pasca kolonial memiliki ideologi yang mirip dengan zaman kolonial, khususnya di bagian kontrol terhadap suatu wilayah.
Penelitian tersebut sekaligus menjadi benang merah atas kasus-kasus perampasan tanah adat yang terjadi hingga saat ini. Komoditas yang kesannya dipaksakan untuk ditanam pada suatu wilayah meskipun presentasi kegagalannya tinggi. Lantas, apakah konsep kolonialisme jalan pangan masih ada hingga saat ini?
Kejayaan “Beras” Indonesia Tahun 1970-2000
Tahun 1970 sampai 2000 kerap digadang sebagai masa kejayaan pertanian Indonesia. Bayangkan, tahun 1980 Indonesia berhasil mencetak sawah hingga 7,7 hektare. Luas tersebut terdiri dari 57,9 persen sawah irigasi dan 37 persen sawah tadah hujan. Serta 5 persen lainnya berupa sawah pasang surut.
Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kembali berhasil melakukan ekstensifikasi sawah. Lahan sawah lebak yang tadinya 5 persen menjadi 19 persen. Sedangkan sawah irigasi meningkat 3,9 persen. Total capaian lahan sawah Indonesia kala itu adalah 8,3 juta hektare. Tentu ini menjadi salah satu capaian ini yang melatarbelakangi prestasi ketahanan pangan Indonesia di kancah internasional.
Obesis pemerintah terhadap ketahanan pangan melalui jalur pembudidayaan padi menjadi program andalan. Namun, program ini justru bertolak belakang dengan fakta yang ada di pada era sebelumnya.
Era 1815 hingga 1940, produksi lahan pada turun. Konsumsi beras tahun 1815 yang semula 76 persen turun menjadi 41 persen pada periode 1936-1940. Sebaliknya, luas lahan pertanian untuk jagung dan umbi-umbian naik yang semula hanya 7 persen menjadi 25 persen. Presentasi konsumsinya pun meningkat menjadi 19 persen dari 7 persen.
Perubahan pola produksi pangan yang terjadi di abad terakhir penjajahan Belanda menunjukkan adanya pemahaman akan jenis tanaman yang cocok di beberapa wilayah Indonesia. Bahwa, padi bukanlah satu-satunya makanan pokok di Nusantara.
Dalam buku berjudul “Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880” oleh Peter Boomgard, jumlah penduduk Jawa meningkat pada akhir abad penjajahan Belanda. Hal ini mengindikasikan bahwa singkong dan ubi jalar yang ditanam mampu memberi makan orang lebih banyak.
Sumber:
Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG.
Van Vollenhoven, Cornelis. 2013. Orang Indonesia dan Tanahnya. Bogor: Sajogyo Insitute.
Weerasekara, Permani C. 2018. Nutrition Transition and Traditional Food Cultural Changes in Sri Lanka during Colonization and Post-Colonization. NCBI v.7(7); 2018 Jul.