
Papua identik dengan konflik. Begitu ucap Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Adriana Elisabeth. Bayangkan, sejak tahun 1940-an, Indonesia bagian timur itu sarat akan kontroversi dan polemik. Mulai dari referendum yang hingga kini dipertanyakan, konflik politik, ekonomi, hingga lahan.
Ihwal referendum, misalnya. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 berlangsung hingga belasan tahun selanjutnya. Konferensi ini menentukan apakah Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia atau tidak. Kondisi in berlansung hingga diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969.
Hasil referendum dipertanyakan kala sebagian masyarakat menilai bahwa keinginan mereka tidak terwakili dalam Pepera. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Warinussy.
“Bahkan di dalam (referendum) ada orang-orang non-Papua yang terlibat. Inilah yang menjadi persoalan yang selalu diperdebatkan dari waktu ke waktu. Referendum 1969 tidak pernah bisa merepresentasikan keinginan masyarakat Papua,” ujar Warinussy, megutip aa.com.
Ketidakpuasan sejumlah elemen masyarakat mendorong perlawanan serius terhadap negara. Misalnya, konflik bersenjata pertama kali pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Selanjutnya, Mei 1977 sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport, terutama di Desa Amungme.
Hal ini ada kaitannya dengan kontrak karya dengan perusahaan asal Amerika Serikat Freeport yang dilakukan oleh presiden Soeharto. Ternyata, pola serupa, yakni pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah tak hanya terjadi di masa lalu. Hingga kini, sejarah berulang.
Data dari The seventh report of the International Coalition for Papua (ICP) providesan analysis of violations from January 2019 until December 2020 menyebutkan setidaknya ada 5 perusahaan sawit yang bermasalah.
Pertama, PT Internusa Jaya Sejahtera di Merauke tidak melakukan dialog dengan masyarakat setempat ihwal penggunaan lahan. Kedua, PT Megakarya Jaya Ray berkonflik dengan suku Awyu lantaran mengotori sungai Kiusang dan Kiobo dengan limbah perusahaan.
Ketiga, PT Medco Papua Hijau Selaras tercatat gagal memenuhi kesepakatan dengan masyarakat lokal yakni pembayaran kompensasi, peningkatan kesehatan dan pendidikan. Keempat, PT Rimbun Sawit Papua oleh Salim Group menyebabkan konflik horizontal dengan suku lokal seperti Mbaham, Mor dan Irarutu.
Kelima, PT Subur Karunia Raya milik Salim Group gagal melakukan pembayaran kompensasi untuk warga lokal.
Kata Pengamat Soal Resolusi Konflik
Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Adriana Elisabeth menyebutkan setidaknya ada 3 pendekatan yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggulangi konflik yang ada di Papua.
Pertama, menyatukan semua pendekatan dan melaksanakannya secara sinergis, koordinatif, dan komunikatif. Maksudnya, pemerintah harus berani menyediakan dialog dengan masyarakat Papua yang memang dipersiapkan secara matang.
Kedua, pembangunan dan kedamaian sama-sama penting. Hal ini yang kerap bergesekan antara ketidaksepahaman dua belah pihak. erdapat prinsip kemanusiaan (humanity) yang perlu diintegrasikan. Hal ini dapat dilakukan dengan sebelumnya, dialog, demi memahami pemikiran masing-masing pihak. Sehingga, keputusan yang diambil–dalam konteks ini dapat berbentuk program pembangunan–tidak bersifat topdown atau seakan dari pemerintah saja.
Ketiga, konsep kedamaian harus ilandasi pemahaman mengenai sensitivitas konflik di Papua yang meliputi, keberagaman tradisi dan budaya, termasuk perspektif dan pola pikir yang memengaruhi interaksi Papua dengan yang lain.
Adriana juga menyoroti kasus sumber daya alam Papua yang kerap menjadi rebutan berbagai pihak. Menurutnya, kasus ini harus dibuat transparan sehingga proyek apapun yang melibatkan Papua mendapat persetujuan masyarakatnya.
“Papua bukanlah ‘tanah kosong’ melainkan berpenghuni, di mana setiap jengkal tanah dimiliki oleh setiap suku ataupun marga yang berdiam di tujuh wilayah adat di seluruh Papua,” ucap Adriana mengutip sindonews.
Sumber:
Redaksi Sindonews. 2022. Atasi Konflik Papua, Pengamat Sarankan Pemerintah Lakukan Pendekatan Secara Integratif. Sindonews edisi 26 Januari 2022.
Widadio, Nicky Aulia. 2019. Riwayat konflik Papua, tanah kaya di ujung timur Indonesia. Aa.com edisi 5 November 2019.