
7 Desember, 2021, PTUN Jayapura mengatakan penggugat tidak memiliki kepentingan yang dirugikan. Oleh karenanya, penggugat tidak berhak untuk menggugat objek sengketa II berupa Keputusan Sorong Nomor: 42/185 Tahun 2013 tentang Perpanjangan Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan usaha kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono, Kabupaten Sorong, 27 April 2021.
Putusan ini menjadi titik terang dari upaya Bupati Sorong dalam menegakkan hak masyarakat adat terkait lahan mereka. Menurutnya, perusahaan sawit yang beroperasi di Sorong merugikan masyarakat.
“Kami melihat bahwa ini sudah salah, peruntukan izin dikeluarkan tapi ini tidak sesuai. Pengusaha-pengusaha ini pandai melakukan kegiatan yang sebetulnya merugikan masyarakat. Mereka mencari keuntungan sebesar besarnya, sementara keadilan untuk masyarakat tidak ada sama sekali,” ungkap Bupati Sorong Jhony Kamuru
Keputusan Bupati Sorong untuk mencabut izin perusahaan sawit bukanlah keputusan sederhana. Haris Azhar, advokat sekaligus co-founder Lokataru, mengapresiasi hal tersebut. Menurutnya, keputusan Bupati Sorong berpotensi menyadarkan masyarakat akan potensi kerusakan lingkungan.
“Perlu diapresiasi ketegasan dari Papua Barat yang berani mencabut izin perusahaan sawit. Saya yakin ini soal waktu saja, keberanian ini akan meluas karena ada kesadaran potensi kerusakan dari sisi lingkungan hidup dan ternyata kehadiran perusahaan-perusahaan di Papua atau Papua Barat tidak mengubah fakta sosial ekonomi orang-orang papua,” ungkap Haris saat dihubungi.
Kehadiran perusahaan sawit diketahui mengandung banyak kontroversi. Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria pada tahun 2018, dari 144 konflik agraria yang terjadi di kawasan perkebunan, sebanyak 83 kasus atau 57,64 persen merupakan konflik pada
perkebunan kelapa sawit.
Data tersebut juga menyebutkan bahwa “konflik” antara perusahaan dan masyarakat lokal semakin terbuka dan akan terus membesar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bupati Jhony Kamuru terkait kehadiran perusahaan sawit yang tidak menguntungkan masyarakat.
Senada dengan hal tersebut, Haris berharap keputusan Bupati Sorong menjadi titik tolak yang menyadarkan masyarakat akan dampak buruk dari perusahaan sawit. Haris mengatakan bahwa kebanyakan kasus sawit justru memperburuk kondisi mereka.
“Sebaliknya, justru (kehadiran perusahaan sawit) semakin memperburuk kondisi mereka. Orang Papua hanya ditempatkan sebagai penerima sedekah perusahaan; tidak keterlibatan yang signifikan orang asli papua dalam praktik bisnis yg besar-besar di Papua,” jelas Haris.
“Kalau mereka menolak kerap dituduh separatis, dituduh pemabuk. Makin hari makin banyak bisnis-bisnis di Papua. Dengan praktik seperti di atas justru semakin mempercepat buruknya kondisi Papua. Rencana-rencana pembangunan di Papua dalam soal bisnis tidak ada orang asli Papua dan tidak berbasis pada kepentingan orang asli papua,” sambungnya.
Papua Barat Menuju Perdasus Konservasi
Pencabutan izin perusahaan sawit, merupakan satu langkah lebih dekat dalam meraih status Provinsi Konservasi. Maret 2019, DPRD Papua Barat menetapkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan atau disebut Perdasus Konservasi. Hal ini menetapkan Papua Barat sebagai, termasuk Sorong, sebagai provinsi konservasi.
Pencabutan izin lahan memiliki latar belakang yang jelas. Pertama, hal ini mengacu pada Melalui Deklarasi Manokwari pada tahun 2018, pemerintah Papua Barat berkomitmen untuk melakukan pembangunan secara berkelanjutan.
Papua Barat dan Papua memegang peranan penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2021.
Kedua wilayah tersebut masuk ke dalam Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) di mana Papua dan Papua Barat berperan merealisasikan kontribusi Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global.
Kedua, terkait aspirasi masyarakat. Ada hal menarik yang disampaikan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Sorong Raya (AMAN SR) Feki Wilson Mobalen, saat momen HUT RI ke 76 lalu. Ia menjelaskan bagaimana masyarakat Papua telah melalui 3 masa Industri sejak tahun 1900-an.
Tiga masa industri tersebut antara lain industri minyak dan gas tahun 1935, kemudian industri minyak sawit tahun 2000-an dan yang terkini adalah industri Kawasan Ekonomi Khusus yang baru diresmikan 2016 lalu.
Lebih khusus, Ketua Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta, Terianus Kalami, mengatakan bahwa masyarakat Suku Moi, telah menghadapi ancaman serupa sejak tahun 1500-an.
”Sebelum Indonesia merdeka, suku Moi sudah mengalami ancaman bahkan sejak era Portugis pada 1511. Pada 2000-an masuk kelapa sawit dan terakhir pembangunan pemerintah berupa pemekaran. Semua proyek tersebut mengambil hutan kayu dan penguasaan lahan masyarakat adat,” ujar Terianus Kalami.
Sumber:
Brabar, Reiner. 2021. Feki Mobalen: Masyarakat Adat Hidup Sengsara di Tanah Merdeka. Suarapapua edisi 19 April 2021.
Maichel. 2021. Cabut Izin Perusahaan Sawit Demi Bela Hak Masyarakat Adat, Bupati Sorong Digugat ke PTUN. Kompas edisi 2 September 2021.
Shahab, Nabiha. 2021. Transformasi Papua dan Papua Barat menuju Pembangunan Rendah Karbon. Forestdigest edisi 19 Juli 2021.
Pratama, Sandy Indra. 2021. Cabut Izin Sawit, Bupati Sorong Didukung Pemuda Adat Papua. Betahita edisi 23 Agustus 2021.