Signifikansi adanya pertambangan pada suatu daerah, yang dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang timbul, sedang menjadi sorotan di Indonesia.
Polemik ini muncul setelah BBC Indonesia merilis liputannya tentang Tambang Emas di Sangihe, Sulawesi Utara dan ancaman hilangnya burung endemik yang bangkit dari 100 tahun kepunahan.
Tak berhenti di situ, kematian misterius Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong, dalam penerbangannya dari Bali ke Manado pada Rabu (9/6) semakin menajamkan sentimen masyarakat tentang keberadaan tambang.
Perihalnya, Helmud sempat mengirimkan surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, pada 21 April 2021 lalu, yang menyatakan keberatannya terhadap kehadiran tambang emas. Di dalam surat tersebut, almarhum juga meminta agar pemerintah pusat mencabut izin tambang yang telah dikeluarkan.
Apa Kontribusi Riil Tambang Pada Masyarakat Sekitar?
Polemik kehadiran tambang apapun bentuknya, rupanya masih menjadi dilema bagi pemerintah daerah. Di satu sisi, investasi pada area terdampak langsung cukup membantu perekonomian, Di sisi lain, kerusakan lingkungan serta manfaat bagi masyarakat terdampak masih belum nampak wujud nyatanya.
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu daerah yang bergelut dengan keadaan ini. Kehadiran LNG Tangguh sebagai pemegang konsesi 14,4 triliun kaki kubik untuk melakukan pengeboran gas alam hingga kini masih belum bisa dirasakan manfaatnya secara langsung bagi masyarakat.
Selain itu, sebagai daerah penghasil gas alam, yang menjadi ironi bagi Negeri Sisar Matiti ini adalah, kondisi kelistrikan yang belum maksimal.
Meskipun dalam empat tahun terakhir sudah mengalami perbaikan yang baik, tapi hal ini masih belum dirasakan cukup sebagai penyokong kegiatan perekonomian di Teluk Bintuni.
Hal ini dikemukakan oleh Wakil Gubernur Papua Barat, Muhammad Lakotoni seperti yang kami lansir dari Kumparan.
“Gasnya tiap tahun keluar berton-ton yang digunakan untuk kemudian menyalakan listrik bagi negara-negara di dunia. Tapi listrik Bintuni belum maksimal yang bisa dimanfaatkan dengan sumber gas di sini,” ujarnya.
Menurutnya jangan sampai kebijakan negara yang diambil terhadap Bintuni seperti air mancur, yang justru pancurannya melewati daerah di sekitar air mancur itu sendiri.
Serapan Tenaga Kerja LNG Tangguh Masih Belum Terealisasi
Persoalan lain bagi masyarakat terdampak industri adalah tidak adanya penyerapan tenaga kerja yang maksimal dari beroperasinya industri tersebut.
Hal ini pun dirasakan oleh Masyarakat Teluk Bintuni dengan kehadiran LNG Tangguh. Dari tenaga kerja non-skilled dan semi skilled hingga tenaga kerja bongkar muat, LNG Tangguh melalui sub kontraktornya dirasakan masih menyepelekan kompetensi dari tenaga lokal.
Lisensi atau sertifikasi kompetensi menjadi alasan mereka untuk tidak menggunakan masyarakat sekitar sebagai bagian dari operasional mereka.
Hal ini diungkapkan oleh Charles Durisara, salah satu Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Teluk Bintuni, yang sempat kami wawancarai pada 26 Februari 2020 lalu.
“Jadi BP ini minta supaya yang mau bergabung dengan mereka di tenaga pelabuhan harus punya license. Sebenarnya buruh pelabuhan di sini itu ada skillnya, tapi dibatasi dengan adanya permintaan license tadi,” ujar Charles.
Pemerintah Daerah Sedang Berupaya
Atas persoalan ketidak puasan masyarakat terhadap kehadiran LNG Tangguh yang beroperasi di Teluk Bintuni, pemerintah daerah pun mengambil langkah-langkah strategis.
Sebagai upaya untuk menghadirkan kompetensi yang bersertifikasi, Pemda Teluk Bintuni pada kepemimpinan Bupati Ir Petrus Kasihiw telah membangun Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas, yang dikhususkan bagi putera Teluk Bintuni untuk mengenyam pendidikan vokasi ini secara gratis.
Secara khusus, Pemda Teluk Bintuni menggandeng Petrotekno Technical School sebagai operator dalam memberikan pelatihan kepada putera Teluk Bintuni agar bisa memberikan kontribusi nyata sebagai tenaga kerja semi skilled yang bersertifikasi, yang dibutuhkan oleh industri sekitar.
Selain itu, pemerintah daerah sejak tahun 2017 sedang getolnya untuk menjadikan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dibukukan sebagai Perda Khusus (Perdasus).
Dengan demikian, pembagian dana hasil industri terhadap masyarakat terdampak langsung, bisa lebih nyata dalam bentuk aset yang cair. Hal ini sedang digodok pada tingkat pemerintah provinsi.
Namun, segala upaya pemerintah daerah, dikhawatirkan menjadi sia-sia jika industri tersebut akan terus bergeming, Ini bisa menjadi sebuah ironi yang menganga, seakan klise namun nyata dan tampak biasa.