Teluk Bintuni — Saat matahari belum sepenuhnya naik, ketika sebagian besar pemuda masih bergelung di selimut, satu sosok remaja sudah sibuk menyiapkan ember, selang, sabun, dan alat-alat cuci kendaraan di sebuah tempat sederhana di kawasan Kilo 3. Namanya Seni Marinus. Usianya baru 17 tahun. Tubuhnya kurus, kulitnya gelap terbakar matahari, tapi semangatnya menyala lebih terang dari cahaya pagi.
Ia bukan anak pejabat. Bukan juga pemuda kota yang mengenakan seragam sekolah rapi setiap pagi. Sejak kelas 3 SD, Seni berhenti sekolah. Bukan karena malas belajar, tapi karena hidup mengajaknya lebih dulu turun ke jalan. Tatapan matanya tajam, sekilas mengawang sembari memegang spons berbusa yang menjadi saksi dari ratusan motor yang telah dicucinya.
Seni tahu, hidup di tanah kelahirannya, Teluk Bintuni, tidak selalu mudah. Tapi ia juga percaya, diam bukan jalan keluar. Maka sejak usia 10 tahun, ia mulai mengikuti orang-orang dewasa ke tempat pencucian kendaraan. Awalnya hanya bantu-bantu. Lama-lama dipercaya mencuci sendiri. Kini, ia menjadi salah satu tenaga utama di Pencucian Tiara, tempat cuci kendaraan sederhana yang ramai dikunjungi warga.
Setiap hari, mulai pukul 08.00 pagi hingga sekitar pukul 17.00 sore, ia mencuci motor dan mobil yang datang silih berganti. Motor dihargai Rp5.000, mobil Rp20.000. Jumlahnya bervariasi. Kadang hanya lima kendaraan sehari, kadang bisa sepuluh lebih. Tapi Seni tidak pernah menghitung hanya dari jumlah. Ia belajar menghargai setiap tetes keringatnya.
“Kalau ramai, bisa dapat sampai Rp200.000 seminggu. Kalau sepi, ya pasrah saja. Tapi tetap kerja,” ujar Seni, tersenyum.
Bersama tiga rekan lainnya yang seusia dan senasib, ia membentuk tim kecil yang solid. Mereka saling bantu, saling menyemangati. Tempat pencucian itu tak sekadar ruang kerja, tapi juga menjadi sekolah kehidupan bagi mereka. Dari tempat itulah mereka belajar tentang waktu, tanggung jawab, dan kerja keras.
Meski tidak mengenyam pendidikan formal, Seni memiliki impian besar. Ia ingin suatu hari nanti membuka tempat pencucian sendiri. “Supaya bisa jadi bos kecil-kecilan. Biar bisa kasih kerja buat teman-teman lain yang susah juga,” katanya dengan senyum malu-malu.
Ia pernah berpikir untuk kembali sekolah lewat paket. Tapi belum punya cukup waktu dan biaya. Namun, keinginan itu tidak padam. “Kalau ada kesempatan, saya mau ikut. Supaya bisa baca tulis lebih lancar. Bisa hitung uang lebih cepat,” ujarnya.
Banyak orang meremehkan pekerjaannya. Ada yang menganggap mencuci kendaraan bukan pekerjaan yang membanggakan. Tapi bagi Seni, semua pekerjaan yang halal adalah mulia. “Saya kerja bukan untuk kaya. Tapi supaya bisa bantu mama dan adik-adik,” katanya. Ia anak sulung dari empat bersaudara.
Kisahnya menyentuh banyak hati. Beberapa pelanggan yang rutin datang ke Pencucian Tiara mulai mengenalnya lebih dekat. Mereka memberi semangat, kadang memberi tip tambahan. Bagi Seni, itu bukan soal uang. Tapi pengakuan bahwa usahanya dihargai. Ia bukan hanya menjual jasa, namun ia memanggul harapan bagi masa depan.
Dalam usia yang masih sangat muda, Seni telah memahami makna tanggung jawab. Ia bangun sendiri setiap pagi, membersihkan area cuci, menyiapkan sabun dan air, lalu mulai bekerja tanpa banyak mengeluh. Di saat sebagian anak-anak seusianya masih bergantung pada orang tua, ia justru menjadi tulang punggung keluarga.
Seni tahu, hidup bukan tentang seberapa tinggi kita sekolah, tapi seberapa keras kita berjuang. Ia tidak menyalahkan nasib. Ia justru memeluknya, lalu menantangnya. “Saya tidak sekolah, tapi saya kerja. Saya tidak punya ijazah, tapi saya punya semangat,” katanya penuh keyakinan.
Harapan terbesar Seni bukan untuk dirinya sendiri. Ia justru memikirkan orang lain. Ia ingin anak-anak di Teluk Bintuni tidak perlu putus sekolah seperti dirinya. Ia ingin kelak bisa membangun tempat pelatihan kecil untuk cuci kendaraan, sekaligus mengajari anak-anak muda tentang pentingnya kemandirian.
“Kalau bisa, pemerintah bantu kami buat pelatihan. Supaya banyak anak-anak muda bisa kerja juga. Tidak semua harus jadi pegawai. Cuci motor juga bisa buat hidup. Dengan modal yang sederhana, kita bisa menjadi anak-anak muda mandiri dengan memulai dari sesuatu yang kecil, namun bisa menunjukkan inilah kita anak-anak Papua, bukan seperti apa yang dibayangkan orang melalui stigma,” ucapnya.
Matahari makin tinggi. Air sabun kembali mengalir deras. Seni melanjutkan pekerjaannya, menyikat ban motor dengan cermat, memastikan tidak ada sisa lumpur tertinggal. Ia bekerja dengan bangga, karena dari pekerjaannya yang sederhana itu, ia sedang membangun masa depan.
Bagi dunia luar, Seni mungkin hanya remaja putus sekolah yang mencuci kendaraan. Tapi bagi keluarganya, bagi lingkungannya, bahkan bagi masa depan Teluk Bintuni, Seni adalah simbol harapan: bahwa semangat dan kerja keras bisa mengalahkan nasib, dan bahwa masa depan adalah milik mereka yang tak pernah berhenti berusaha.