Layaknya buah simalakama, perdagangan karbon yang dinilai sebagai bentuk solusi antara iklim dan perekonomian kini justru mengancam sebagian pihak. Salah satunya adalah masyarakat adat.
Indonesia telah melakukan perdagangan karbon sejak 2005 melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih. Hingga tahun 2016, Indonesia berhasil menurunkan sebesar 10.097,175 ton CO2e (satuan: karbondioksida ekuivalen).
Cara perhitungannya, 1 ton penurunan emisi karbon atau disebut dengan kredit karbon. Tahun 202-, harga 1 ton kredit karbon adalah 5 dollar AS atau setara dengan 72.617 rupiah per ton. Artinya, pemasukan Indonesia dari perdagangan karbon dapat mencapai ratusan juta rupiah
Bahkan, di tahun 2015 saja berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hukum dan Kehutanan, Indonesia berhasil meraup 150 juta dollar As atau 2,1 triliun rupiah dari perdagangan tersebut.
Bayangkan, Indonesia yang menurut fact sheet “Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF)”, merupakan areal mangrove terbesar dunia. Luasnya mencapai 3,2 juta hektare yang memiliki potensi total penyimpanan karbon biru sebesar 3,4 gigaton.
Berapa penghasilan yang dapat diperoleh Indonesia dari perdagangan karbon? Tak ayal, metode ini kemudian menjadi salah satu jalan tengah untuk mengatasi masalah iklim dan perekonomian. Bahkan, perdagangan karbon masuk dalam kesepakatan (Climate Change Conference) COP 26 tahun 2021.
Kendati demikian, perdagangan karbon justru menjadi ancaman masyarakat adat. Mereka dibayangi oleh perampasan tanah, kekurangan air, dan pelanggaran HAM. Hal ini disampaikan oleh Thomas Joseph dari suku Hoopa.
Thomas adalah salah satu masyarakat adat yang berdiam di California. Ia mengungkapkan bahwa pemimpin COP 26 menandatangani perjanjian untuk memperkokoh pengorbanan orang-orang Pribumi.
“Para pemimpin yang mendorong solusi berbasis pasar dan komodifikasi Ibu Pertiwi kita menandatangani hukuman mati,” ucap dia seperti dikutip dari The Guardian.
Lantas apa yang dipersoalkan?
Proyek Energi Hijau Solusi Semu Kerusakan Alam
Salah satu sorotan dari masyarakat adat terhadap keputusan COP 26 adalah proyek energi hijau yang dianggap semu. Sejumlah pihak mengkritik bahwa proyek tersebut cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan.
Juru bicara kolektif Meksiko Futuros Indígenas (Masa Depan Adat), Andrea Xieu, mengungkap bagaimana masyarakat adat tersisihkan dalam agenda penyelamatan dunia dari krisis iklim ini.
Andrea menilai pemerintah dalam COP 26 justru berpihak pada perusahaan bahan bakar fosil. Hal ini didukung oleh data dari organisasi pemantau forum PBB nirlaba. Mereka menyebut lebih dari 500 pelobi bahan bakar fosil telah berafiliasi dengan perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia. Seluruh kerja sama ini kemudian diberikan akses ke Cop26.
“Negara adat bukan bagian dari negosiasi meskipun faktanya 80% keanekaragaman hayati planet ini bertahan di wilayah kami. Masalahnya bukan hanya bla, bla, bla politisi, tetapi ledakan, ledakan, ledakan greenwashing yang akan terus menghancurkan hidup dan wilayah kami, ” ungkap Andrea Xieu mengutip dari betahita.
Proyek energi hijau berpotensi menimbulkan pemindahan paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan masyarakat adat demi lahan. Padahal kehidupan mereka sangat bergantung pada hutan tersebut.
Skema seperti ini sudah dilakukan sejak protokol Kyoto pada 1997. Namun, hasilnya tidak efektif. Emisi karbon tak pernah menurun dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat justru meningkat.
Greenpeace senada dengan hal tersebut. Indonesia pun terindikasi melakukan skema serupa. Narasi proyek energi ramah lingkungan justru tak seindah narasinya. Berdalih menggunakan energi berkelanjutan, justru pemerintah tetap menggunakan kontributor emisi, misalnya Co-firing yakni mencampur batubara dengan campuran biomassa sebagai bahan PLTU.
Kemudian, Carbon Capture & Storage (CCS) yakni mengurangi pelepasan gas emisi karbon pada PLUR atau industri lainnya. Lainnya adalah proyek yang kita kenal dengan lahan sawit. Minyak kelapa sawit digunakan untuk alternatif sumber energi dari nabati dan hewani. Kita semua mengetahui bagaimana proyek sawit ini justru membuka banyak lahan adat.
Hal ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 40 kasus kriminalisasi dalam konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat di tahun 2020.
Jumlah kasus pada catatan tersebut melibatkan 39.069 orang masyarakat adat yang terbagi menjadi 18.372 kepala keluarga. Mereka mengalami kerugian, intimidasi, dan kekerasan. Dari jumlah kasus tersebut, total wilayah adat yang terlibat mencapai 31.632,67 hektar.
Sumber:
Aryoseno, Ardiyanto. 2020. Peran Nyata Karbon Biru Papua Mengendalikan Emisi Dunia. Econusa edisi 21 April 2020
Bhawono, Aryo. 2021. Perdagangan Karbon Mengancam Masyarakat Adat. Betahita edisi 18 November 2021
Kurniawan, Putu Sukma. 2020. Manfaat perdagangan karbon bagi ekonomi dan lingkungan Indonesia. The Conversation edisi 16 November 2020
Liu, Leona. 2017. Penelitian karbon biru untuk pembangunan berkelanjutan. Forestnews.cifor.org edisi 23 Februari 2017