Masalah guru dan pendidikan di Indonesia, merupakan masalah klasik yang tak kunjung menemui simpul solusi yang tepat. Penempatan serta status honorer guru memaksa mereka untuk mengabdi demi status tanpa tanda jasa. Padahal, menilai guru yang “mencerdaskan anak bangsa” harus berjalan seiring dengan nilai ekonomi yang menjadi hak mereka.
Di atas merupakan problematika guru dan pendidikan secara umum di Indonesia. Bagaimana dengan masalah guru dan pendidikan di Papua atau Papua Barat?
Pemerataan pendidikan secara nasional, masih terasa jomplang ketika melihat kondisi guru dan pendidikan di Papua. Kurangnya fasilitas serta tenaga pengajar merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian nasional.
Misalnya saja di SMAN 11 Tanah Klabra, Sorong. Dari tujuh tenaga pengajar, hanya satu yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan enam lainnya merupakan tenaga honorer. Ini menjadi sebuah tantangan bagi dunia pendidikan, pun ketika tujuh tenaga pengajar tersebut, tidak diberikan fasilitas yang layak untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. http://bicarauntukrakyat.com/2021/11/24/potret-masalah-sekolah-sorong-masih-ada-yang-tak-memiliki-listrik-dan-internet/
Harus Ada Solusi Bagi Guru di Lokasi Yang Kurang Terjangkau
Di lain sisi, penempatan guru pada lokasi-lokasi yang menantang, harus pula dicarikan solusi tersendiri. Hal ini diungkapkan oleh Agustinus Kambuaya, Anggota DPRD Provinsi Papua Barat dari Fraksi Otonomi Khusus Papua Barat.
Menurutnya, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pendidikan bagi Sekolah Menengah Atas (SMA) harus bisa segera diwujudkan, untuk mempermudah guru untuk mengurus keperluan administrasi mereka.
“Semoga Awal Tahun UPT Pendidikan Bagi SMA sudah bisa berjalan di tiga wilayah. Sorong Raya yang berpusat di Sorong, Manokwari Raya di Manokwari dan Fakfak – Kaimana yang berpusat di Fakfak. UPT Menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan pendidikan tingkat SMA. Termasuk di dalamnya keperluan guru-gurunya” ungkap Agustinus.
Menurutnya, UPT adalah solusi bagi masalah yang timbul ketika kebijakan pendidikan nasional tentang kewenangan pendidikan, dimana untuk tingkat SMA menjadi kewenangan provinsi.
“Perubahan masalah kewenangan untuk pendidikan tingkat SMA ini sangat menyulitkan, karena area Papua Barat yang begitu luas, akan menyulitkan Dinas Pendidikan di Tingkat Provinsi untuk menjangkau wilayah yang jauh dengan medan yang menantang,” lanjutnya.
Perubahan kebijakan ini menurutnya menjadi masalah pula bagi guru-guru di lokasi tertentu yang harus membiayai sendiri perjalanan mereka, ke provinsi hanya untuk masalah administrasi dan kepangkatan.
“Perubahan kebijakan ini tidak mempertimbangkan karateristik daerah. Tingkat kesulitan akses dan lainnya. Contohnya saja Guru SMA Di Inanwatan, Teminabuan, Kais, Maybrat menempuh dua sampai tiga kali perjalanan hingga ke manokwari hanya sekedar untuk mengecek usulan kenaiakan pangkat. Tentu ini bukan kesalahan Provinsi tetapi perubahan kebijakan pendidikan secara nasional. Semoga di awal Tahun urusan-urusan kenaikan pangkat, urusan kebutuhan guru SMA serta keperluan lainnya dapat dilakukan melalui UPT Pendidikan yang ada,” pungkas Agustinus.