Suku Auyu adalah masyarakat Papua yang tinggal di pinggiran sungai Digul. Mereka hidup tersebar mulai dari Kecamatan Pantai Kasuari, Kuoh, hingga Mandobo. Ini adalah kisah dari salah satu suku di Papua yang mengalami perubahan kala tangan dari luar Papua merambah masuk ke dalam.
Kehidupan mereka tak jauh dari menokok sagu dan hasil alam. Untuk lauk pauk makanan, mereka memiliki ikan dan daging hasil berburu di hutan, seperti rusa dan babi. Namun, makanan pokok mereka tetaplah sagu.
Kegiatan berburu masyarakat Auyu disebut sebagai amiogo. Bagi kaum laki-laki, kegiatan ini sudah layaknya permainan. Sejak kecil, anak laki-laki akan bermain dengan busur panah selayaknya sedang berlatih. Agar, ketika dewasa nanti, mereka pandai berburu.
Pada masyarakat Auyu, kaum perempuanlah yang mencari sagu. Bahkan, mereka juga mencari ikan. Kombinasi pembagian kerja ini akan utuh kala laki-laki bertugas untuk berburu.
Namun, kehidupan ini mulai berganti sejak memasuki awal tahun 2010. Tahun itu, sebuah perusahan masuk ke Boven Digoel untuk membangu kebun sawit. Hal ini membuat masyarakat suku Auyu goyah.
“Selama ini kami cari makan di bawah kolong hutan, berburu, setiap hari pangkur sagu. Anggaplah itu hutan sebagai kita punya mama. Jadi makan minum kita di sana,” ujar Bonevasius Hamnagi, Kepala Marga Hamnagi, mengutip dari kanal Youtube The Gecko Project.
“Dulu makanan itu serba ada, sekarang dunia uang. Artinya kita mau hidup seperti di daerah lain yang sudah maju,”
Suku Auyu dan Menara Group
Tak hanya perusahaan Korindo yang menanam sawit di tanah Papua. Faktanya, ada nama lainnya yang hingga kini tak sesanter perusahaan kerja sama Indonesia dan Korea Selatan itu.
Tahun 2013, perusahaan Menara Group masuk untuk melakukan bersama aparat keamanan untuk melakukan pembagian uang pembayaran tali asih. Setelah sebelumnya, pada tahun 2010 pihak perusahaan melakukan survei lokasi.
Namun, pihak perusahaan tidak memberikan informasi besaran uang yang jelas kepada masyarakat setempat.
“Mereka sudah pack uang itu tidak jelas berapa uang yang mereka bagikan. Tapi mereka bilang ‘ini uang punya ini. Tetapi pada umumnya masyarakat tidak tahu berapa jumlah uang setiap marga,” ungkap Herman Kaize, warga Kampung Meto.
“Untuk marga Meto 1 Milyar 300 lebih.”
Dampak uang ‘tali asih’ ini bersekskalasi di kemudian hari. Tahun 2014 setelah alat berat mulai masuk dan hutan mulai rubuh, keharmonisan masyarakat mulai pecah. Lantaran sumber kehidupan mereka mulai hilang dan berganti kepada uang, mulai timbul konflik antar sesama.
“Sebelum adanya perusahaan masuk, rasa persaudaraan dan kekeluargaan dalam kerja sama selalu gotong royong. Kita semua ada keluarga. Di sana tidak ada perbedaan antara marga satu dengan lainnya,” ujar Mikael Felix Mamoan, warga Kampung Anggai.
“Namun ketika perusahaan masuk, perbedaan marga mulai terlihat. Sehinga mulai ada persaingan karena adanya kecemburuan.”
Pembayaran uang tali asih membuat kecemburuan antar klan. Ini belum termasuk hutan mereka yang rusak dan berganti lahan semai kelapa sawit. Artinya, mereka harus mencari lebih jauh demi mendapatkan makan.
Memahami Standar Hidup Masyarakat Auyu
Perusahaan yang masuk ke daerah Boven Digoel itu telah membuat kesepakatan dengan masyarakat setempat. Beberapa di antaranya adalah rumah bersih, air bersih, sumber listrik, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, apa yang masyarakat rasakan hingga kini adalah kesepakatan kosong. Program tersebut tak berjalan dengan baik sehingga masyarakat berakhir kebingungan. Permasalahannya adalah, tentang perbedaan standar hidup pada masyarakat Suku Auyu dengan masyarakat lainnya, misalnya di kota besar.
Sebelum perusahaan masuk dan memberikan segala fasilitas, Suku Auyu hidup dengan cara tradisional mereka. Hal ini jelas sudah berbeda dengan mereka yang tinggal di kota. Tidak bisa dilakukan standarisasi, karena pola hidup mereka berbeda.
Mereka kaya dengan cara yang berbeda. Yakni hidup dengan alam. Namun, ketika fasilitas berupa rumah, air hinga listrik masuk, ini merubah standar hidup mereka. Mereka harus hidup dengan standar kota karena kekayaan mereka telah direnggut.
Hal ini yang disampaikan oleh Bonevasius Hamnagi, Kepala Marga Hamnagi.
“Dengan adanya perusahaan kami mau sama dengan daerah lain. Perusahaan datang maksudnya untuk mengurangi kita punya kebiasaan hidup. Tapi selama ini, air minum, lampu, rumah bersih, maksudnya kita tinggal sama dengan daerah lain yang sudah maju dan hingga saat ini tidak ada perubahan” jelasnya.
“Jadi, perusahaan masuk sama saja. Kita masih hidup dari adat kebiasaan kita. Jadi anggaplah mereka datang untuk tipu masyarakat.”
Saat ini, masyarakat suku Auyu berupaya untuk menjaga hutan mereka. Salah satunya adalah dengan membuat peta hutan agar hutan adat mereka diakui.
Sumber:
Putra, Anggo. 2015. Sejarah Suku Auyu. Sukudunia.blogspot edisi 31 Desember 2015
The Gecko Project. 2019. Kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua. Kanal Youtube The Gecko Project tahun 2019.