Hari itu, kami sempat bercengkrama bersama Ir Petrus Kasihiw, MT. Tepatnya pada tanggal 10 November 2020, saat beliau sedang mengadakan safari politiknya di Teluk Bintuni, untuk maju kembali sebagai Bupati untuk periode kedua kalinya.
Ditemani suguhan teh manis hangat dan ubi serta pisang goreng, beliau memaparkan sejumlah visi dan misi, yang tidak semuanya bisa kami tuliskan dalam jurnal. Tapi ada satu hal yang begitu menarik perhatian. Kepedulian beliau terhadap isu lingkungan dalam iringan pembangunan suatu wilayah.
Ini menjadi menarik, karena Teluk Bintuni merupakan daerah dengan luasan wilayah Mengrove terbesar di Indonesia yang mencakup 20.841 km². Dengan wilayah seluas itu, tentu banyak pemanfaatan sumber daya alam yang bisa menjadi komoditas sebuah daerah.
Namun tidak bagi orang nomor satu di Teluk Bintuni ini. Meski negeri yang dijuluki Sisar Matiti ini kaya akan sumber daya alam, terutama kandungan migas dan batu bara, namun beliau mengungkap “tidak serta merta kita harus eksploitasi semua. Sekarang ini, apa yang sudah berjalan, masih sanggup untuk kita makan. Saya masih belum melihat adanya keperluan untuk eksploitasi kandungan lain di Teluk Bintuni, selain Migas yang sudah berjalan serta Petrokimia yang akan berjalan,”
Sawit Menggoda, Tapi Bukan Pilihan yang Baik
Perbincangan santai itu, dilanjutkan dengan kekhawatiran perihal masalah lingkungan yang akan timbul dengan adanya perkebunan sawit. Sawit, yang hingga kini masih menjadi polemik, tentu hadir dengan dua mata pisau.
Di satu sisi, investasi yang akan digelontorkan oleh industri sawit pada suatu daerah, sangat menggiurkan. Di sisi lain, dampak lingkungan yang timbul dan deforestasi dari sebuah lahan sawit menjadi kekhawatiran Piet Kasihiw.
Piet yang juga lulusan perhutanan ini mengungkap bahwa dampak sawit, apalagi pada daerah mangrove itu sangat mengkhawatirkan. “Saya masih belum setuju adanya konsesi sawit pada lahan baru di Teluk Bintuni. Karena apa? Sawit ini dia menyerap air terlalu banyak, akhirnya tanah di sekitar menjadi kering. Itu sudah ada lahan sawit yang sudah ada lama di sini, mereka harus bisa tanam kembali, jadi untuk konsesi lahan baru, saya masih belum melihat manfaatnya bagi daerah,” ungkapnya.
Langkah Konkrit Teluk Bintuni Terhadap Isu Lingkungan yang Ditimbulkan Sawit
Perhatian Piet Kasihiw terhadap dampak yang timbul akibat sawit, rupanya bukan saja menjadi retorika belaka. Beberapa waktu lalu, beliau memutuskan untuk mencabut izin lokasi sebuah industri sawit di Teluk Bintuni.
Bukan hanya perihal dampak lingkungan, namun keputusan Piet Kasihiw ini berdasarkan pertimbangan beliau atas dampak manfaat terhadap masyarakat sekitar, terutama masyarakat adat yang ada di Teluk Bintuni.
Melalui Surat Keputusan Bupati Teluk Bintuni nomor:188.4.5/ A -19/2021, Bupati Teluk Bintuni mencabut izin lokasi keperluan pembangunan Kelapa Sawit kepada PT Bintuni Sawit Makmur.
SK tersebut sekaligus mencabut keputusan Bupati Bintuni nomor 188.4.5/A -58 Tahun 2013 tentang izin lokasi pembangunan lahan sawit. Dengan demikian, tertanggal 23 Maret 2021 izin PT Bintuni Sawit Makmur resmi dicabut.
Bupati Teluk Bintuni, Ir. Petrus Kasihiw M.T., menilai PT Bintuni Sawit Makmur tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Dalam keputusannya, Bupati Teluk Bintuni juga menyebutkan PT Bintuni Sawit Makmur telah melakukan penyelewengan. Perusahaan yang telah diberikan izin oleh pemerintah sebelumnya, yakni pada periode 2013, tidak beroperasi sesuai peruntukkannya.
Melainkan, perusahaan tersebut hanyalah kedok untuk aktivitas pengambilan kayu dalam hutan. Bupati menyebut hal ini bukan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
“PT.Bintuni Sawit Makmur sudah mendapat izin hak guna usaha tetapi tidak melakukan kegiatan di lapangan,” Tegas Bupati Petrus Kasihiw dalam surat keputusannya.
Keputusan tersebut mengacu pada hasil evaluasi yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian hak guna usaha (HGU). Artinya, perusahaan tidak beroperasi sesuai prosedur.
Keputusan Piet Selaras Dengan Partai Hijau Papua Barat
Menanggapi keputusan Bupati Teluk Bintuni dalam mencabut izin PT Bintuni Sawit Makmur, Direktur YLBH Sisar Matiti Yohanes Akwan,S.H yang juga salah satu anggota Partai Hijau Papua Barat memberikan apresasi. Ia menyebut bahwa keputusan tersebut
“Sikap Bupati dalam kebijakan mengeluarkan keputusan pencabutan izin perusahan PT.Bintuni Sawit Makmur patut di berikan apresiasi karena Bupati berani mengambil sikap tegas itu, “kata Yohanis Akwan kepada Media ini, Kamis (8/4/2021).
“Mestinya Songko Merah malu sama Piet-Matret yang sudah berani mencabut ijin dari perusahaan tersebut. Dari keputusan itu, hak-hak masyarakat adat serta tempat mencari hidup dari masyarakat terlundungi. Termasuk pencabutan ijin tersebut untuk menahan laju degradasi dan deforestasi hutan di Teluk Bintuni.” imbuhnya Akwan.
Ia menambahkan bahwa langkah ini patut menjadi contoh bagi pemerintah daerah lainnya. Terutama mereka yang berhadapan dengan industri dan lahan sawit.
“Seharusnya ini bisa jadi percontohan bagi pemerintah daerah lainnya,” ungkap Akwan.
Tak melulu soal investasi, namun perizinan lahan sawit harus memperhatikan kepetingan lingkungan dan rakyat.
“Dari hasil evaluasi yang di lakukan pemerintah daerah Teluk Bintuni, Perusahan PT.Bintuni Sawit Makmur tidak memanfaat lokasi tersebut untuk bekerja untuk kesejahteraan rakyat tetapi dimanfaatkan izin tersebut untuk mengambil kayu di dalamnya,” ungkap Akwan.
Teluk Bintuni adalah negeri dengan aliran minyak dan tumpukan emas. Daerah dengan kandungan SDA yang melimpah ini tentu menjadi incaran para investor ke depannya.
Sebuah jalan panjang dan berat yang menuntut komitmen dari para pemangku jabatan agar ke depannya negeri ini tidak dirusak oleh sejumlah kepentingan dan ego dari segelintir orang.