HomeKabar BintuniBagaimana UU Ciptaker Berdampak Pada Hutan Papua?

Bagaimana UU Ciptaker Berdampak Pada Hutan Papua?

Ilustrasi deforestasi. Foto: pixabay

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, meyakini bahwa Omnibus Law mampu menjaga kawasan hutan lebih ketat dari pada sebelumnya. 

Sebelumnya, Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebut luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau. Kemudian, aturan tersebut dihapis dalam Undang-ungda Cipta Kerja (UU Ciptaker).

“Dalam Omnibus Law bisa lebih ketat daripada hanya angka 30 persen. Artinya, Implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan akan lebih ketat dalam aspek sustainability,” ungkap Siti Nurbaya, mengutip katadata.com (09/04/2021).

Pemerintah menyebut telah menyiapkan langkah mitigasi dan penataan hutan yang baru. Adapun mitigasi tersebut adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan perangkat analisis LCA (Life Cycle Assessment).

Kendati demikian, tidak ada aturan ihwal luas kawasan hutan minimal yang harus dipertahankan. Jika sebelumnya berpaku pada angka 30 persen, maka aturan baru sesuai UU Ciptaker menyebut luas kawasan yang dipertahankan akan disesuaikan dengan kondisi fisik dan geografis DAS atau pulau.

Lantas, apa dampaknya pada lingkungan? Khususnya hutan Papua?

Kontradiksi Aturan UU Ciptaker dengan Tren Deforestasi Hutan Papua

Mengutip Forest Digest, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), terdapat kontradiksi antara aturan UU Ciptaker dengan deforestasi yang terjadi di Papua. Sejak tahun 1977, mereka menyebut angka deforestasi Indonesia menurun.

Hal ini bahkan sempat membuat Indonesia mendapatkan penghargaan  Green Climate Fund. Tidak adanya ambang batas wilayah hutan yang perlu dipertahankan membuka peluang untuk meningkatkan aktivitas deforestasi. Khususnya Papua.

Hal ini menjadi ancaman bagi Deklarasi Manokwari 2018 dengan komitmen mereka bahwa Papua Barat mempertahankan 70 persen kawasan lindung. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar.

Mari kita tilik kasus sejumlah perusahaan yang menguasai lahan melebihi batas maksimal. Saat ini, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyebut ada sekitar 1.389.956 hektar hutan miliki masyarakat adat yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. 

Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN Nomor 2/1999, sebuah perusahaan mendapat Izin Usaha hingga 40.000 hektare untuk wilayah Papua. Ini angka yang lebih besar dua kali lipat dari provinsi lain, yakni hanya 20.000 hektare.

Beberapa persuhaan tersebut pertama PT Menara Group dengan penguasaan lahan sebesar 270.095 hektar di Kabupaten Boven Digoel. Kemudian, PT Korindo Group dengan lahan seluas 148.637 hektar di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel. 

Dari dua kasus itu kita dapat melihat bahwa luas usaha mereka mencapai 5 kali lipat dari perizinan. Selain itu, beberapa perusahaan diduga beroperasi tanpa AMDAL. Misalnya, PT Bintuni Agro Prima Perkasa di Kabupaten Tambrauw.

Lantas, benarkah UU Ciptaker mampu menjaga kawasan lebih ketat dalam aspek sustainability?

Sumber:
Hutapea, Tigor. 2020. Omnibus Law dan Ancaman bagi Hutan dan Sumberdaya Alam Papua. Mongabay edisi 15 June 2020.

Vania, Hanna Farah. 2021. Menata Hutan Dalam Uu Cipta Kerja. Katadata edisi 9 April 2021.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments