Prof Dr H Sugianto, Guru Besar Tata Negara, IAIAN Syekh Nurjati, Cirebon.
Ada suatu adagium dalam hukum yang sampai sekarang masih menjadi pegangan hakim di Indonesia dalam memutus suatu perkara. Adagium tersebut adalah “tiada hukum selain undang-undang”, oleh karena itu, hakim hampir selalu akan menjadi corong undang undang.
Sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, prinsip utama kita berpedoman runutan peraturan perundangan yang tersusun secara sistematis melalui kodefikasi yang mengadopsi Corpus Juris Civil (kumpulan kaidah hukum sebagai prinsip dasar kodefikasi).
Berpedoman pada hal ini, maka menurut Prof Dr H Sugianto SH MH, Guru Besar Hukum Tata Negara IAIN Syekh Nurjati Cirebon, berpendapat, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada saat ini akan memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) harus berjalan pada koridor undang-undang yang berlaku.
“Sebanyak 132 perkara PHPU sudah teregistrasi melalui E-BRP, tentunya 9 hakim di Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan peraturan perundangan yang ada. Semuanya akan diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan dan dirapatkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim,” ujar Prof Sugianto.
“Nah para hakim MK ini harus berpegangan juga dengan syarat formil mengenai ambang batas sebuah permohonan PHPU yang bisa diajukan sebagai sengketa di MK, menurut jumlah penduduk sebuah wilayah sebagaimana yang diatur melalui pasal 158 UU 10/2016 jo PMK RI no 6 tahun 2020. Jadi MK ini kan sebagai pengawal konstitusi yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 C, ya tentu tidak boleh keluar dari konstitusi,” imbuh Prof Sugianto.