HomeKabar BintuniUbi Jalar dalam Sejarah Pangan Masyarakat Papua

Ubi Jalar dalam Sejarah Pangan Masyarakat Papua

Ubi jalar. Foto: pixabay

Ubi jalar menjadi salah satu makanan yang melekat pada masyarakat Papua. Selain sagu, ubi jalar kerap menjadi sajian dalam upacara adat seperti perkawinan, perdamaian, kelahiran, hingga kematian.

Terlebih, bagi masyarakat pegunungan, ubi jalar merupakan primadona. Jika pada dataran rendah sagu menjadi makanan utama, ubi jalar menjadi makanan pokok bagi masyarakat pegunungan. Atas dasar itu, ubi jalar tidak dapat lepas dari siklus kehidupan masyarakat Papua.

Namun, tahukah Anda bahwa ubi jalar tidak berasal dari Papua? Sebagian orang berpikir bahwa ubi jalar merupakan makanan asli masyarakat Papua. Menurut sejumlah penelitian, ubi jalar berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Lantas, bagaimana makanan yang berasal dari benua lain dapat begitu melekat dengan siklus hidup masyarakat Papua?

Mengutip buku berjudul ‘Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan’, terdapat 3 jalur masuknya ubi jalar ke Papua.

Pertama, adalah jalur kumara. Sekitar tahun 1100 hingga 1200 Masehi, pelaut asal Polinesia dari daerah pesisir Amerika Selatan melakukan pengembaraan ke Polinesia Timur. 

Kedua, jalur batata. Pada rute ini, dijelaskan bahwa sekitar tahun 1550 Masehi, penjelajah Portugis membawa ubi jalar ke India, Afrika, dan Maluku. Dari Maluku, akhirnya ubi jalar masuk ke Papua.

Jalur ketiga disebut dengan jalur camote. Menurut pandangan ini, Spanyol-lah yang mengenalkan ubi jalar ke Papua. Mereka membawa ubi jalar dari Meksiko hingga ke Filipina dan Papua.

Meski berbeda benua, namun ubi jalar terbukti subur di Papua. Bahkan, tanah dan iklim Papua menjadikan wilayah timur Indonesia ini sebagai pusat keragaman ubi jalar. Akhirnya, pembudidayaan ubi jalar berjalan secara turun-temurun. Tak hanya memengaruhi jalan pangan masyarakat, ubi jalar juga memengaruhi budaya dan tradisinya.

Masyarakat Papua dan Ubi Jalar

“Ubi jalar bagi masyarakat Baliem sama pentingnya dengan manusia Lembah Baliem itu sendiri. Ubi jalar bukan hanya bergizi, tapi juga nilai budaya. Semua pendidikan bagi anak-anak hingga mereka dewasa, terjadi di kebun, tempat ubi jalar ditanam,” tutur Kiloner, seorang warga Wamena, mengutip dari benarnews.

“Orang tua juga mengajarkan segala sesuatu untuk kehidupan ini, seperti etika, moral dan pendidikan keluarga diajarkan di kebun,” imbuhnya.

Dibandingkan dengan keladi, ubi jalar memiliki beberapa keunggulan. Salah satunya, ubi jalar memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Tak hanya di dataran tinggi, ubi jalar juga tumbuh subur di dataran rendah Papua. Bahkan, ubi jalar dapat tumbuh di dataran tinggi kala tidak ada tumbuhan lain yang tumbuh.

Keunggulan ini mendorong perubahan dalam masyarakat. Pertama, ubi jalar mendorong masyarakat mengembangkan teknik budidaya. Masyarakat Lembah Baliem menggunakan kapak batu sebagai media mengolah tanah.

Kemudian, mereka menambahkan pupuk hijau dan kotoran hewan untuk membudidayakan ubi jalar. Seiring berjalannya waktu, teknik budidaya berkembang. Terdapat dua teknik budidaya masyarakat Baliem pada ubi jalar. Pertama, penanaman secara monokultur, yang disebut dengan wen hipere. Mereka menanam ubi jalar di lembah dengan parit yang lebar dan dalam. 

Teknik kedua disebut wen yawu. Teknik ini membudidayakan ubi jalar dengan menanam ubi pada lereng gunung menggunakan parit kecil. Letak penanaman saling bersilangan agar mencegah erosi.

Selain berkembangnya teknik budidaya, kehadiran ubi jalar memengaruhi sistem pembagian kerja di masyarakat Baliem. Bagi laki-laki, mereka bertugas membuka kebun, membuat pagar, mengolah tanah, dan membuat saluran air. Sedangkan perempuan bertugas penyiapan setek, penanaman, penyiangan, panen, dan pengolahan hasil.

Ironi Ubi Jalar Kini: Jadi Unggulan, namun Ditinggalkan

Kita telah mengetahui betapa pentingnya ubi jalar bagi masyarakat Papua. Khususnya masyarakat pegunungan. Ubi menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Papua. Namun, agaknya ubi jalar mulai tergeser.

Mengutip benarnews, warga Wamena mulai meninggalkan ubi jalar. Salah satunya ketika masuknya padi dan nasi ke Papua. 

“Kami selalu cari cara untuk makan nasi. Lama-lama, orang tua kami tahu. Lalu orang tua kami meski tinggal di kampung dan hanya bertani berusaha beli beras supaya kami mau makan,” tutur Kiloner.

Selain masuknya beras, ada satu kisah menarik yang menjelaskan berkurangnya masyarakat Wamena yang makan ubi jalar. Terdapat sebuah mitos yang menjelaskan bahwa ubi jalar menyebabkan kebodohan.

“Waktu saya SD, guru-guru selalu bilang, kalau makan petatas, kamu jadi bodoh. Akhirnya setiap kali kami makan di honai (rumah tradisional), kami ragu-ragu makan petatas yang orang tua kami kasih,” jelas Kiloner.

Menurutnya, mitos ini kerap diajarkan oleh sekolah yang ada di sana. Akrhinya mereka mulai ragu akan khasiat dan manfaat ubi jalar sebagai makanan pokok. Padahal organisasi kesehatan dunia (WHO) mengakui kandungan baik ubi jalar.

Ubi jalar kaya akan vitamin A. Bahkan, lebih banyak dari wortel. Selain itu, ubi jalar juga mengandung zat besi, magnesium, vitamin C, vitamin D, beta karoten, bahkan antioksidan.

 

Sumber:

Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG

Mambor, Victor. 2015. Ketika Ubi Jalar Mulai Terpinggirkan di Pegunungan Papua. Benarnews edisi 11 Juni 2015

Suroto, Hari. 2018. Ubi Jalar Papua. Jubi edisi 31 Oktober 2018

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments