HomeKabar BintuniTransmigrasi Papua: Ironi atau Prestasi?

Transmigrasi Papua: Ironi atau Prestasi?

Ilustrasi Transmigrasi

Kala itu, Papua dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah penerima transmigran tertinggi pada tahun 1978, selain Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

Ini adalah hasil Keppres No.7 Tahun 1978 tentang Penentuan Provinsi Irian Jaya sebagai Salah Satu Daerah Provinsi di Indonesia. Pemerintah kemudian melakukan program transmigrasi besar-besaran di mana Papua menjadi salah satu wilayah penerima transmigran tertinggi.

Kendati demikian, program transmigrasi tidak luput dari persoalan. Pasalnya, dalam transmigrasi selalu diikuti 2 pembukaan lahan, yakni: pembukaan lahan untuk permukiman dan pembukaan lahan untuk perkebunan. 

Desember 2020 lalu, masyarakat adat di Lembah Grime, Papua, menagih janji ganti rugi pemerintah atas tanah mereka yang dijadikan permukiman transmigrasi. Program transmigrasi di Lembah Grime pertama kali dilakukan pada tahun 1977. Kala itu, jalan darat antara Sentani menuju Genyem, ibu kota Distrik Nimboran berhasil membuat wilayah Nimboran menjadi salah satu distrik penyuplai jeruk manis ke Jayapura.

Transmigrasi di Papua telah terjadi sejak zaman Belanda. Tercatat, transmigrasi antara warga Jawa yang didukung oleh pemerintah pertama kali terjadi pada bulan November 1905, saat Asisten Residen Sukabumi H.G. Heyting memberangkatkan sebanyak 155 kepala keluarga asal Jawa ke Gedong Tataan, Lampung.

Pada tahun 1910, pemerintah mendatangkan masyarakat Jawa ke Spadem dan Mopah untuk berladang, menanam sayur-sayuran, buah-buahan serta berternak. Pasalnya, tujuan dari pemindahan wagra ini adalahuntuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman bagi pegawai pemerintah Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, transmigrasi disebut sebagai kolonisasi. Jika menelisik buku The Prince karya Niccolò Machiavelli, pemindahan penduduk merupakan cara termudah dan termurah dalam menduduki suatu wilayah. Itulah yang dilakukan Belanda pada saat itu.

Pada tahun 1943, setelah perang dunia kedua berakhir, Belanda masih berupaya untuk mendatangkan orang Jawa dalam rangka membangun area yang mereka rencanakan di daerah Digul. Orang-orang Jawa ini dimukimkan di Merauke. Belanda hendak membangun proyek persawahan di Sungai Digul dan sekitarnya.

Garis Abu-abu di Antara Prestasi dan Ironi

Sudah ada sekitar 78.000 KK di Papua melalui program transmigrasi dari tahun 1964 hingga 1999. Program transmigrasi berhenti lantaran penolakan yang kuat dari hampir seluruh wilayah. Salah satu bentuk penolakan keras ditandai dengan kasus Sampit dan Sambas. Di Papua, kasus serupa terjadi di Armopa Jayapura.

Hal ini diperparah ketika adanya temuan terkait penyalahgunaan program transmigrasi di mana para transmigran menjual tanahnya. Laporan ini berasal dari warga asli Papua dari Kabupaten Keerom dan Merauke di mana transmigran menjual lahan hasil program transmigrasi dan pulang kembali ke kampung halamannya.

Hal ini menimbulkan potensi konflik ketika masyarakat adat pemilik lahan transmigrasi merasa tidak pernah menyerahkan lahan mereka kepada pihak pembeli. Perubahan nama lokasi pun kerap menjadi pemicu persoalan. Misalnya, nama desa yang sesuai dengan nama asal transmigran di Jawa seperti Desa Kertosari di lokasi transmigrasi di Kabupaten Jayapura, Desa Marga Mulya di Manokwari.

Menurut Umi Yuninarti dalam “Kebijakan Transmigrasi Dalam Kerangka Otonomi Khusus di Papua; Masalah dan Harapan (Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. 12 No.1 Juni 2017), hal ini jelas tidak memihak dengan warga lokal. Program transmigrasi dinilai tidak memperhatikan kesiapan warga lokal dalam menerima transmigran. Termasuk perubahan nama desa.

“Nama-nama asli tentu berhubungan dengan mitos dan asal usul tempat. Keputusan ini dianggap tidak berpihak pada masyarakat lokal karena menyebabkan sejarah suatu tempat dapat menjadi kabur dengan penggantian nama secara sepihak untuk kepentingan para pendatang,” tulisnya.

Ini menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi akibat adanya perbedaan pengetahuan antara transmigran dengan penduduk lokal. Apabila transmigrasi ditujukan untuk pembangunan, maka sebaiknya pemerintah mempersiapkan penduduk asli dengan melibatkan mereka dalam program-program transmigrasi. 

Referensi:

Flassy, Angela. 2020. Transmigrasi di Papua. Jubi edisi 2020.

G, Aryo Wisanggeni. 2019. Transmigran di Papua diingatkan tidak menjual lahan transmigrasi. Jubi edisi 17 Juni 2019.

Terrajana, Syam. 2020. Riwayat transmigrasi di tanah Papua. Jubi edisi 11 Desember 2019.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments