”Saat ini peluang kerja di Jawa bagi saya yang minim modal sangatlah sulit. Saya memilih merantau ke Jayapura dan bisa mendapatkan penghasilan hingga kini,” kata seorang pria Madura yang merantau ke Jayapura.
Dalam satu tahun terakhir, Jayapura mengalami lonjakan peningkatan penduduk sebanyak 40.000 jiwa. Pada tahun 2021, pemerintah mencatat jumlah penduduk di Kota Jayapura sebanyak 368.000 jiwa. Namun pada akhir tahun 2022, penduduk Kota Jayapura mencapai 403.118 jiwa.
Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jayapura Raymond Mandibondibo, bahkan mengaku angka ini bisa saja lebih. Pasalnya, pencatatan data tersebut berasal dari pendataan KTP terakhir. Ada setidaknya sekitar 60.000 orang yang terpantau belum melakukan pencatatan atau tidak memiliki KTP.
”Sebenarnya jumlah penduduk di Kota Jayapura lebih dari angka pendataan yang terakhir. Sebab, banyak warga dari luar Papua belum mengurus KTP elektronik sesuai domisili meskipun telah bermukim selama bertahun-tahun di Jayapura,” kata Raymond, mengutip kompas (05/05/2023).
Raymond melanjutkan bahwa kebanyakan perantau bekerja di sektor jasa, seperti di pusat perbelanjaan, rumah makan dan sektor usaha lainnya. Dapat dikatakan bahwa migrasi ini terjadi atas kebutuhan ekonomi. Hal ini juga didukung oleh pendapat Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Avelinus Lefaan.
Menurut Avelinus, fenomena migrasi dengan motif ekonomi merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan oleh tingginya persaingan di kota besar dan lapangan pekerjaan yang semakin terbatas.
”Kemampuan kota besar di Pulau Jawa untuk menampung para perantau semakin terbatas. Sementara itu, daya tarik daerah seperti Papua dengan tanah yang luas dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lebih besar,” ujar Avelinus.
Bayangkan apabila migrasi ini berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Diketahui, PAD Pemerintah Kota Jayapura tahun 2022 yang mencapai Rp 294 miliar yang mana sektor ini berkontribusi hingga 70 persen bagi PAD Jayapura.
Terlepas dari dampak pada perekonomian daerah, Avelinus mengatakan bahwa pemerintah harus berhati-hati akan hal ini. Program transmigrasi pun memicu adanya konflik horizontal antara masyarakat lokal dengan pendatang. Hal serupa bisa pula terjadi dalam kasus migrasi ini.
”Semakin banyak warga perantau yang menguasai sektor ekonomi akan menimbulkan kesenjangan sosial yang dengan penduduk setempat sehingga berujung konflik. Sayangnya, regulasi otonomi khusus belum berdampak pemberdayaan masyarakat asli Papua untuk berwirausaha,” kata Avelinus.
Hal ini sempat disampaikan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Gusti Ketut Ayu Surtiati. Menurutnya, migrasi menjadi faktor mengecilnya proporsi orang asli Papua (OAP).
“Faktor migrasi itu sangat berkontribusi signifikan terhadap peningkatan penduduk di Papua Barat dan itu yang mengecilkan proporsi OAP. Ini sangat jelas di Kabupaten Sorong di mana proporsi OAP menjadi sangat kecil,” ungkap Ayu dalam acara peluncuran “Buku-buku Tantangan dan Solusi Tanah Papua dari Sisi Kependudukan” di tahun 2020.
Referensi:
Meirina, Zita. 2020. LIPI: Faktor Migrasi Berkontribusi Terhadap Kecilnya Proporsi OAP. Antara edisi 1 Oktober 2020.
Triana, Neli. 2023. Melihat Fenomena Migrasi Penduduk di Papua dari Jayapura. Kompas edisi 5 Mei 2023