
Tahun 2021, Indonesia akan menggenjot produksi udang vaname. Hal ini disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono. Beliau menargetkan, Indonesia akan menjadi produsen udang terbesar dengan jumlah produksi 16 ton per tahun.
Untuk mewujudkan hal tersebut, KKP hendak membangun tambak udang seluas 200 ribu hektare dari sekarang hingga 2024 mendatang. Jika hal ini terwujud, maka Indonesia dapat menghasilkan Rp 1.200 triliun per tahun dari tambak udang saja.
“Kalau kita berhasil membangun 200 ribu hektare tambak udang dengan dua siklus panen 80 ton per hektare per tahun, maka dalam satu tahun analisa ekonominya bisa menghasilkan hampir Rp 1.200 triliun,” ujar Trenggono melansir republika, Rabu (13/01/2021).
Kendati demikian, tambak udang punya dampak yang cukup signifikan terhadap ekosistem pesisir. Khususnya mangrove. Buktinya, wilayah pesisir dari Aceh Timur hingga ke Deli Serdang, Sumut, kehilangan tutupan mangrove sebesar 59,6 persen dalam kurun waktu 30 tahun terakhir akibat tambak perikanan.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Alam, Ratih Loekito, setuju dengan hal tersebut. Dalam webinar Mangrove untuk Masa Depan 28 Mei lalu, ia menyebut tambak menjadi faktor terbesar kerusakan hutan bakau Indonesia.
“Salah satu kasus kerusakan terbesar mangrove adalah konversi lahan mangrove jadi tambak,” jelas Ratih.
Meskipun begitu, ada hal menarik yang beliau sampaikan terkait tambak. Bahwa, terdapat jalan keluar bagi pembuatan tambak perikanan di lahan mangrove yang ramah lingkungan. Yakni dengan metode sustainable aquaculture.
“Itu semua mangrove dibabat untuk tambak. Padahal, kalau kita paham sustainable aquaculture, tak perlu semuanya dibabat. Cukup 20 persen saja. Karena, dengan membiarkan mangrove justru produktivitasnya lebih tinggi,” imbuhnya.
Lantas, apa itu metode sustainable aquaculture.
Mengenal Sustainable Aquaculture
Secara sederhana, contoh dari penerapan sustainable aquaculture pada tambak sudah disinggung oleh Ratih Loekito. Sustainable aquaculture adalah mengupayakan produksi perikanan agar dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Salah satu komponen terpenting dalam sustainable aquaculture adalah menjaga ekosistem dan kualitas lingkungan biota air dengan baik. Misalnya, dalam konteks tambak perikanan mangrove, maka cukup membabat 20 persen lahan mangrove saja.
Dengan demikian, metode ini diharapkan mampu menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan produksi perikanan. Sebagai contoh yang sudah diterapkan di Indonesia adalah i (AMA).
Caranya adalah dengan membangun kembali green belt mangrove pada zona pasang surut di Indonesia. Bukan menanam mangrove pada tambak. Green belt adalah istilah yang merujuk pada kemampuan mangrove atau tanaman bakau menahan berbagai ancaman dari laut seperti gelombang tinggi.
Selain itu, dengan membangun kembali ekosistem mangrove sebagai green belt, setidaknya ada beberapa keuntungan. Beberapa di antaranya, menjaga kualitas air, melindungi tambak, menangkap sedimen, melindungi pantai serta bantaran sungai, serta menyediakan habitat bagi ikan liar, udang, kepiting dan biota ekonomis.
Artinya, AMA berupaya membentuk habitat buatan bagi biota air semirip mungkin dengan kondisi aslinya. Dengan demikian, metode ini mampu meningkatkan jumlah produksi tambak perikanan.
Sumber:
Abdullah, Agus A. 2019. Mangrove, “Green Belt” yang Murah tapi Tangguh Luar Biasa. Samuddranesi edisi 14 October 2019.
Ambari, M. 2020. Menggenjot Produksi Udang dengan Budidaya Ramah Lingkungan. Mongabay edisi 115 Juni 2020.
Hanadyani, Mery. 2021. Budidaya Tambak Terhubung Mangrove Dapat Meningkatkan Pendapatan Petambak Tradisional. VOI edisi 2 Juni 2021.
Nursyamsi, N. 2021. Indonesia Targetkan Jadi Produsen Udang Vaname Terbesar. Republika edisi 14 Januari 2021.