HomeKabar BintuniTahun 2021, Kota Jayapura Terancam Abrasi dan Tsunami

Tahun 2021, Kota Jayapura Terancam Abrasi dan Tsunami

Ilustasi Kota Jayapura. Foto: pixabay.

Ahli ekologi mangrove dari Universitas Cenderawasih, John Kalor, menyebut Kota Jayapura terancam sejumlah bencana alam. Adapun bencana tersebut antara lain abrasi, tsunami, dan gelombang air laut tinggi. 

Ia menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh menipisnya kawasan mangrove di Jayapura. Selama 50 tahun terakhir, hutan mangrove di Teluk Youtefa, Jayapura, mengalami penurunan drastis. Dari total luasan 514,24 hektare, kini hanya tersisa kurang dari 50 persennya saja. 

Hingga tahun 2018, hutan mangrove Jayapura hanya tersisa 233,12 hektare. Sekitar 281,12 hektar hutan mangrove di Teluk Youtefa sudah beralih fungsi. Misalnya, dalam dua tahun terakhir hutan mangrove dipangkas untuk keperluan pembukaan akses jalan dari wilayah Hamadi ke daerah Holtekamp melalui jembatan Youtefa.

Pembukaan lahan mangrove ini menjadi sebab terancamnya Kota Jayapura dari gelombang tinggi air laut dan abrasi.

”Idealnya, pembukaan area hutan mangrove tidak boleh melebihi 15 persen dari luas kawasan. Pembukaan hutan mangrove yang terjadi di Teluk Youtefa hampir mencapai 50 persen. Faktor pembangunan infrastruktur dan pembukaan kawasan wisata memiliki persentase tertinggi penyebab luasan mangrove berkurang,” papar John.

Penelitian: Sejumlah Wilayah di Jayapura Rentan Abrasi

John menyebut terdapat sebuah penelitian yang menjelaskan bahwa sejumlah wilayah di Jayapura rentan abrasi. Berdasarkan penelitian Baigo Hamuna, dosen Universitas Cenderawasih, wilayah pesisir daerah Skouw di Distrik Muara Tami rentan. Begitu juga beberapa wilayah lainnya.

”Dari hasil penelitian rekan dosen kami, Baigo Hamuna, terdapat sejumlah lokasi di Kota Jayapura yang rentan abrasi karena pembukaan kawasan mangrove, yakni Hamadi, Pantai Base G, Holtekamp, hingga pesisir daerah Skouw di Distrik Muara Tami,” tutur John.

Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tengah melakukan investigasi terkait wilayah yang rusak akibat proyek pembangunan. Menurut Frits Ramandey, Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, terdapat 16 titik pembukaan hutan mangrove dan 12 pembukaan lahan di hutan sagu.

Artinya, terdapat 28 titik kerusakan di Teluk Youtefa yang dapat berakibat fatal. Ia menyebut bahwa dari jumlah tersebut, tidak menutup kemungkinan ada wilayah yang belum terdeteksi.

”Kami menemukan 28 titik kerusakan ini di kawasan Teluk Youtefa dari daerah Hamadi hingga Holtekamp. Kemungkinan lokasi kerusakan yang belum ditemukan masih banyak karena kami belum menyusuri semua area Teluk Youtefa,” ujarnya.

Menurut Frits, salah satu upaya dalam mencegah perluasan kerusakan hutan tersebut adalah bekerja sama dengan masyarakat adat. Ke depannya, ia berharap pembangunan di Kawasan Teluk Youtefa memperhatikan aspek lingkungan.

”Dalam waktu dekat, kami akan menggelar pertemuan bersama masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat dan instansi teknis terkait untuk mencegah kerusakan hutan di Teluk Youtefa terus meluas. Pembangunan di kawasan Teluk Youtefa wajib memperhatikan aspek lingkungan agar melindungi Jayapura dari abrasi dan tsunami,” tambahnya.

Apa Hubungan Mangrove dan Abrasi?

Menjadi budaya masyarakat Papua untuk menjaga alam. Mereka menganggap alam sebagai pihak yang telah memberikan mereka makan dan tempat tinggal. Oleh karenanya, tak sedikit dari mereka yang berupaya untuk menjaga kelestariannya.

Salah satunya hutan mangrove. Pelestarian hutan ini sangat penting bagi kehidupan mereka. Baik dari aspek adat maupun aspek lingkungan. 

Menurut Soerianegara, mengutip dari investing.com, hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai seperti teluk dan muara sunga. Hutan mangrove memiliki ciri tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah pantai, dan hutan tidak mempunyai struktur tajuk. 

Atas ciri-ciri tersebut, hutan mangrove punya peran vital dalam menjaga masyarakat di kawasan pesisir. Setidaknya, mangrove punya 3 lapis zona yang berfungsi sebagai penahan gelombang air laut.

Pertama, Zona Avicennia yang terdiri dari tumbuhan dengan akar yang kuat seperti tumbuhan api-api. Zona ini terletak pada bagian luar hutan, berhadapan langsung dengan laut. Fungsi dari zona ini adalah menahan hempasan air laut dengan tumbuhan berakar kuat.

Kedua, Zona Rhizophora, tempat di mana air menggenang. Zona ini terletak tepat di belakang zona pertama dengan tanah yang lebih keras dari zona pertama. Fungsi zona ini adalah menampung gelombang air laut yang sudah menghempas zona pertama. 

Sedangkan zona ketiga adalah Zona Nypa yang berbatasan dengan daratan. 

Atas pembagian wilayah tersebut, air laut tidak langsung menghempas daratan dan menyebabkan pengikisan permukaan tanah. Hal ini disebabkan gelombang air akan menjadi lebih tenang setelah menghantam tumbuhan dan lumpur yang ada di zona pertama dan kedua.

Dengan demikian, hilangnya zona mangrove berpotensi meloloskan gelombang keras ke daratan yang mampu menyebabkan abrasi. Dalam kasus ekstrem, gelombang tinggi dan tsunami dapat menghantam lebih keras.

 

Sumber:

Costa, Fabio Maria Lopes. 2021. Pembukaan Hutan Mangrove di Jayapura Capai Ratusan Hektar. Kompas edisi 12 Februari 2021.

Prayogo, Cahyo. 2020. Save Our Sea: Melestarikan Mangrove, Mencegah Abrasi Pantai. Wartaekonomi edisi 26 Februari 2020.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments