Suku Moi Kelim adalah penghuni Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Mereka adalah salah satu suku di Papua Barat yang sangat bergantung dengan alam. Berbagaimacam kekayaan alam melimpah di sana.
Mulai dari pangan pokok seperti sagu, pisang, kasbi dan lain sebagainya hingga makanan laut seperti lobster, loka, teripang, udang bambu, kerang batik, dan udang pasir.
Kekayaan alam tersebut langgeng hingga saat ini oleh karena suatu sebab. Salah satunya adalah tradisi yang mewajibkan masyrakat untuk memanfaatkan alam secukupnya. Tradisi ini dikenal umum dengan nama Egek.
Egek merupakan kearifan lokal yang mengutamakan kelestarian keberagaman spesies atau konservasi. Misalnya, untuk perairan, Suku Moi Kelim tidak memburu loka kecil dengan ukuran di bawah 20 sentimeter. Kemudian, mereka juga tidak menangkap lobster dan teripang selama setahun penuh.
Untuk daratan, masyarakat Suku Moi Kelim masih menerapkan sistem hutan keramat. Tidak ada masyarakat yang dibolehkan untuk memotong pohon sembarangan atau bahkan memperjualbelikan kayu.
Hal ini membuat alam desa Malaumkarta asri. Alam tersebut memiliki kayu merbau besar, alam yang sehat untuk berbagaimacam jenis flora dan fauna, bahkan sumber air bersih yang sangat terjaga.
Kendati hidup berdampingan dengan alam, masyarakat Moi Kelim tetap membutuhkan listrik dalam kehidupan mereka. Menariknya, masyrakat Moi Kelim berhasil menyediakan sumber listrik mereka sendiri.
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohdiro: Listrik dari Alam untuk Alam
“Dengan menjaga hutan, listrik akan terus menyala,” begitu slogan yang tepat untuk pembangkit listrik di Malaumkarta, Papua Barat.
Suku Moi Kelim memiliki pembangkit listrik sendiri yang bergerak memanfaatkan Sungai Kawalagan. Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) ini berhasil memenuhi sembanyak 80 rumah.
Listrik dari PLTMH suku Moi Kelim ini juga menyediakan listrik bagi fasilitas umum seperti gereja, lampu jalan bahkan sekolah. Lantas, bagaimana asal usul pembangkit tenaga listrik ini? Dan bagaimana PLTMH ini bisa bedampingan dengan alam?
Ide PLTMH ini adalah Toirianus Kalami, seorang pemuda adat suku Moi Kelim. Awal tahun 2016, ia bersama pemuda dan tetua adat, ia menggagas pembangkit listrik tanpa minyak. Mereka mengajukan dana desa sebesar 1,2 milyar dengan menggabungkan dana desa tahun 2016 dan 2017.
Masyarakat Moi Kelim membangun PLTMH ini secara swadaya atau gotong royong. Mulai dari membangun bendungan di hutan agar aliran sungai dapat lebih deras. Dengan demikian, aliran sungai yang deras dapat menghasilkan listrik.
Saat ini, warga cukup membayar Rp 25.000 untuk biaya perawatan. Masyarakat mengadakan kebijakan bahwa janda tidak pelru membayar iuran tersebut. Lalu, bagaimana PLTMH ini bisa berdampingan dengan alam?
PLTMH adalah pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Untuk menjaganya tetap berfungsi, masyarakat sekitarnya harus menjaga alam tetap lestari. Misalnya, demi aliran ari yang deras, maka menjaga pohon dan hutan adalah penting.
Selain itu, agar turbin PLTMH tidak terganggu, maka warga harus berjaga agar tidak ada ranting atau kayu, bahkan sampah, yang mengalir di sungai dan tersangkut di turbin. Itulah sebabnya menjaga alam sangat mempengaruhi PLTMH suku Moi Kelim.
Sumber:
Arumningtyas, Lusia. 2020. Masyarakat Moi Kelim Penuhi Energi dari Hutan yang Terjaga. Mongabay edisi 22 November 2020.
Heri. 2019. Semua Tersedia bagi Suku Moi Kelim, Ada yang Dikeramatkan? Berita Satu edisi 28 April 2019.