
Soal pelaksanaan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua, Kelompok Koalisi untuk Kemanusian Papua menyayangkan sikap ‘keras kepala’ pemerintahan Presiden Joko Widodo dan DPR. Pasalnya, penolakan sudah bermunculan, namun tak ada tanggapan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Pernyataan sikap ini menanggapi keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR ihwal persetujuan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan pemerintah, tentang pembentukan tiga provinsi baru di Papua, dan Papua Barat. RUU tersebut membahas 3 tambahan provinsi di Papua.
Provinsi tambahan tersebut antara lain Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam hal ini juga kecewa bahwa keterlibatan masyarakat Papua dalam pembahasan soal pembangunan Papua minim. Dalam konteks ini, DOB.
Ketua MRP Papua Timotius Murib mengaku kecewa dengan sikap DPR soal persetujuan tiga RUU DOB di Papua. Adapun RUU tersebut tentang Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Pegunungan Tengah. Timotius Murib mengatakan bahwa hal tersebut telah mencederai semangat dari Undang-Undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini mencederai semangat otonomi khusus,” ujar Ketua MRP Papua Timotius Murib mengutip Republika.
Murib melanjutkan bahwa menteri dan anggota dewan salah mengartikan mandat Presiden Jokowi soal penyejahteraan masyarakat Papua melalui evaluasi Otsus Papua. Hal ini karena minim keterlibatan MRP dalam perancangan undang-undang. Padahal, kata Murib, dalam Otonomi Khusus pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP.
Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, Yohanes Akwan sepakat dengan hal tersebut. Menurutnya, masyarakat Papua kecewa dengan sikap keras kepala Pemerintah Pusat. Terlebih, aspirasi masyarakat Papua dan Papua Barat terkesan tidak didengarkan.
“Gelombang penolakan terhadap dimekarkannya Papua dan Papua Barat tidak didengarkan oleh pemerintah pusat. Masyarakat Papua yang bersentuhan langsung dengan kebijakan tersebut, tidak dilibatkan,” jelasnya saat dihubungi.
Sedana dengan hal tersebut, Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa kondisi ini dapat memicu situasi yang semakin tidak kondusif di Papua. Khususnya dalam bidang hak asasi manusia.
“Dalam beberapa waktu terakhir, muncul demonstrasi-demonstrasi tolak pemekaran di Papua yang sangat besar dan berakhir dengan adanya korban jiwa. Pemekaran di Papua saat ini, hanya mendorong situasi yang semakin tidak kondusif di Papua dalam pemajuan hak-hak asasi orang-orang di Papua,” begitu kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengutip Republika.
Pemerintah diminta untuk menunda pelaksanaan UU Otsus Papua Jilid II, dan menyetop semua pambahasan legislasi terkait pembentukan provinsi baru tersebut. Saran ini keluar dari Direktur Eksekutif Public Virtue Miya Irawati. Hal ini karena proses gugatan MRP di MK atas UU Otsus Papua belum pungkas.
Seharusnya, ungkap Miya, pemerintah bersama DPR, semestinya menjamin keterlibatan MRP dalam setiap pembahasan tentang Papua dan Papua Barat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah inkonsisten dalam menjalankan UU Otsus itu sendiri.
“Kami mendesak pemerintah, dan DPR membatalkan pembentukan dan pembahasan provinsi baru di Papua, atau setidaknya menunda rencana tersebut, sampai ada putusan MK terkait gugatan MRP,” ujar Miya.
Sumber:
Noroyono, Bambang, Nawir Arsyad Akbar. 2022. Pemekaran Papua Semestinya Libatkan Penduduk Asli. Republika edisi 12 April 2022.