Awal April, harga sejumlah kebutuhan dasar naik. Mulai dari BBM Pertamax, minyak goreng, dan pulsa. Kemudian dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan diterapkan mulai 1 April 2022, pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga naik 1 persen menjadi 11 persen.
Selain menaikkan harga barang-barang laiinya, kenaikan PPN juga dapat memicu dampak lainnya. Salah satunya yang disebutkan oleh Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal adalah potensi kenaikan tingkat inflasi. Menurut Yon, tingkat inflasi di tahun ini bisa meningkat sekitar 0,4 persen yang salah satu sebabnya adalah kenaikan PPN.
“Misal perhitungan dengan modeling yang dilakukan, kesimpulan dari evaluasi dampaknya menambah inflasi 0,4 persen,” ungkap Yon Arsal, mengutip nasional.kontan.
Akibat PPN naik, maka barang-barang di hampir setiap sektor industri naik. Kemudian, meningkatkan harga sejumlah kebutuhan barang pokok (seperti minyak goreng dan BBM) juga mendukung terjadinya inflasi.
“Namun, ini tidak serta merta karena peningkatan tarif PPN saja, tetapi juga tambahan dari peningkatan harga komoditas,” ujar imbuhnya.
Persoalan lainnya, aturan turunan dari Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) terkait dengan PPN belum diterbitkan. Menurut sejumlah pihak, hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal ini karena aturan tersebut berfungsi sebagai regulator atas regulasi barang maupun jasa kena pajak yang mendapatkan fasilitas pembebasan, pengecualian, atau tidak dipungut PPN.
Aturan ini yang sejatinya ditunggu oleh masyarakat. Menurut Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono, pemerintah selama ini memberikan fasilitas pembebasan untuk barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok. Kendati demikian, tak semuanya ada. Terdapat beberapa barang konsumsi harian tidak termasuk ke dalam kebutuhan pokok yang terakomodasi fasilitas pembebasan.
“Sangat diharapkan aturan turunan bisa sampai ke tangan masyarakat dalam waktu dekat,” ungkap Prianto, mengutip koran.bisnis..
Berdasarkan perhitungan Bisnis, potensi penerimaan PPN pada tahun ini berada pada kisaran Rp917,7 triliun—Rp921,8 triliun. Angka itu dihitung dengan menggunakan asumsi tarif 11 persen berlaku sepanjang tahun, dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada tahun ini ditargetkan sebesar 5—5,3 persen.
Berkaca pada target pertumbuhan tersebut, maka konsumsi rumah tangga pada tahun ini berkisar Rp9.697,8 triliun—Rp9.725,5 triliun. Adapun secara rata-rata dalam 3 tahun terakhir belanja perpajakan atau tax expenditure yang dikucurkan oleh otoritas fiskal untuk PPN berada di angka Rp149 triliun. Dengan menggunakan tarif 11 persen dan asumsi di atas, serta dikurangi belanja perpajakan, maka potensi penerimaan PPN pada tahun ini di kisaran Rp917,7 triliun—Rp921,8 triliun.
Untuk itu, diharapkan pemerintah mampu memanfaatkan kenaikan PPN ini untuk menjaga daya beli masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryadi Sasmita. Ia berharap pemerintah dapat menanggung PPN 11 persen untuk bahan pokok olahan seperti minyak goreng, gula, hingga tepung.
Ekonom: PPN Bisa Menekan Masyarakat Kelas Menengah Bawah
Perihal ini, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy menjelaskan sejumlah dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi masyarakat. Berdasarkan data BPS 40 persen masyarakat kelas menengah menyumbang sekitar 30 persen kepada total konsumsi nasional.
Kemudian, dari 40 persen masyarakat kelas bawah, menyungbal konsumsi masyarakat sekitar 17 persen. Sedangkan 20 persen masyarakat kelas atas menyumbang 17 persen ke total konsumsi. Data tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya kenaikkan PPN tidak berdampak signifikan terhadap kelompok masyarakat pendapatan kelas mengengah atas.
“Saya kira tidak akan berdampak signifikan dari beragam kenaikan harga saat ini, karena daya beli mereka relatif terjaga,” tutur Yusuf mengutip Kontan.co.id.
Kendati demikian, Yusuf menyebut bahwa kondisi ini berpotensi menekan kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah karena justru di bulan Ramadhan ini konsumsi mereka biasanya naik. Hal ini membuat kelompok ini tertekan secara ekonomi. Jika demikian, maka ini akan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
“Sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan tidak setinggi yang diproyeksikan,” jelas Yusuf.
Sumber:
Arief, Tegar. 2022. Risiko Baru PPN Baru. Koran Bisnis edisi 1 April 2022.
Masitoh, Siti. 2022. Tarif PPN Naik Jadi 11%, Ini Efeknya ke Konsumsi Masyarakat Menurut Ekonom. Nasional Kontan edisi 1 April 2022.
Pink, Bidara. 2022. Inflasi Bisa Bertambah 0,4% Tahun Ini, Salah Satunya Disumbang Kenaikan Tarif PPN. Nasional Kontan edisi 1 April 2022.