HomeKabar BintuniSekelumit Limbah di Papua: Sampah Sawit Keluar dari Daftar B3

Sekelumit Limbah di Papua: Sampah Sawit Keluar dari Daftar B3

Ilustrasi sawit. Foto: Pixabay

Setelah kisruh masalah limbah batu bara yang keluar dari daftar limbah berbahaya, kini limbah sawit menyusul. Masalah ini perlu menjadi sorotan bagi masyarakat Papua. Pasalnya, Papua pun punya persoalan limbah yang tak kunjung selesai.

Pertama, limbah tailing atau sisa hasil pertambangan mineral yang sudah menghantui sekian tahun. Kini, tak sedikit tumpukan tailing yang mengendap pada sungai-sungai Papua. Bahkan, menjadi gunung-gunung baru.

Begitu pula limbah sawit. Aturan tersebut terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Lampiran XIV PP 22/2021, limbah sawit tercantum pada daftar limbah nonB3 dengan kode N108.

“Proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3 persen,” sesuai pada lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021.

Tak Hanya Sawitnya, Limbahnya Pun Bermasalah

Limbah sawit sudah memicu permasalahan. Beberapa tahun lalu, masyarakat mulai mengeluhkan dampak dari limbah sawit. Misalnya, pada Juni 2020 lalu, masyarakat  Adat Suku Marind, Distrik Ulilin, Kabupaten Merauke, melaporkan keluhan mereka atas limbah perusahaan sawit yang beroperasi di sepanjang Sungai Kumbe dan Sungai Bian.

“Mungkin kalau untuk sementara masyarakat yang hidup di sepanjang sungai belum ada yang terkena dampak pencemaran limbah seperti gangguan kesehatan. Tapi kalau dilihat dari ikan, ada perubahan fisik. Dulu sebelum ada perusahaan, ikan ukurannya besar-besar, namun sekarang ikannya kurus-kurus,” jelas  Sebastian Ndiken, Ketua Lembaga Adat Suku Marind, mengutip Kumparan Kamis (25/06/2021).

Selain itu, keluhan juga muncul dari masyarakat Kampung Boasum, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Ondoafi Kaptiau, Aser Yambai, mengungkapkan sampah sawit telah membuat perubahan warna pada sungai mereka.

Mereka takut, nantinya limbah ini mencemari sumber makanan mereka. Selain itu, kehadiran perusahaan sawit diduga sebagai penyebab banjir.

“Sekarang hujan satu atau dua jam saja, sudah banjir dan keruh. Dulu tidak pernah banjir, dan warna tidak keruh seperti sekarang,” ujarnya, mengutip dari jubi.

Kendati demikian, sejumlah pihak menyebut limbah kelapa sawit tidak berbahaya. Misalnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati. Ia menyebut, limbah spent bleaching earth (SBE) dari kelapa sawit bukan termasuk dalam limbah berbahaya.

Hal ini karena kandungan minyak dari SBE berada di bawah 3 persen. Artinya, hal ini sudah sesuai ketentuan limbah tidak berbahaya, yakni dengan kadar minyak di bawah 3 persen.

WALHI: Masyarakat Terdampak Tidak Bisa Menuntut

Ihwal keputusan pemerintah mengeluarkan limbah sawit dari daftar limbah beracun, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebut ini upaya bentuk cuci tangan atas kejahatan lingkungan.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial di Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Wahyu Perdana, mengungkapkan hal tersebut. Bahwa, keputusan tersebut mengorbankan hak masyarakat dan lingkungan hidup.

“Jadi kalau misalnya limbah sesuai baku mutu, tapi volume dan pengolahannya asal-asalan dan berdampak, warga tidak bisa menuntut. Sehingga hak masyarakat ketika terjadi pencemaran, semakin sulit,” ujar Wahyu Perdana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Walhi, SBE (limbah sawit) terbukti mencemari lingkungan. Limbah tersebut dapat memengaruhi tingkat keasaman tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tumbuhan sekitar.

Jika limbah sawit tidak lagi masuk ke dalam kategori limbah berbahaya, lantas masyarakat tidak dapat menuntut apa bila terjadi sesuatu. Ini yang Wahyu sebut sebagai pemutihan kejahatan lingkungan.

“Artinya hak warga melakukan komplain, tertutup. Padahal dulu kalau masih dalam B3, pertanggungjawaban mutlak. Masyarakat bisa protes dan menuntut,” tutur Wahyu.

Ihwal dampak sawit pun dibenarkan oleh Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Rembang. Menurut Boma Subkhan selaku perwakilan forum tersebut, limbah sawit punya dampak signifikan terhadap lingkungan. Salah satunya bau yang sangat menyengat.

“Bau minyak menyengat, kalau sampai sekarang ke lokasi itu, pusing sampai dua hari baru hilang,” tutur Boma mengutip BBC News Indonesia.

Tak berhenti di sana, sesuai dengan penelitian Walhi, limbah sawit membunuh dan menghambat pertumbuhan tumbuhan sekitar. Contohnya, petani di Rembang yang merugi. 

“Tanaman bawang merah, cabai, mati. Terus yang signifikan tanaman pohon cengkeh yang umurnya di atas 10 tahun mati total,” ungkap Buma.

Atas kerugian tersebut, seorang petani harus menanggung rugi antara Rp15 juta hingga Rp 40 juta.

 

Sumber:

Khatarina. 2020. Perusahaan Kelapa Sawit dan Pemerintah Bantah Pencemaran Sungai di Merauke. Kumparan edisi 30 Juni 2020.

Pademme, Arjuna. 2020. Masyarakat adat Kaptiau khawatir limbah sawit rusak kearifan lokal. Jubi edisi 20 Desember 2020

Redaksi BBC. 2021. Limbah sawit: KLHK sebut tidak berbahaya, Walhi tuding pemerintah lakukan ‘pemutihan kejahatan lingkungan’. BBC Indonesia Edisi 15 Maret 2021

Redaksi CNN. 2021. LIPI Ungkap Bahaya Limbah Sawit Usai Keluar Daftar B3 Jokowi. CNN Indonesia edisi 13 Maret 2021

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments