Dr Johny Kamuru, SH., M.Si, menyerahkan Keputusan Bupati tentang Pengakuan Hak Gelek Malak Kalawilis Pasa, salah satu marga Suku Moi yang berada di Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, pada Jumat, (15/10/2021).
Keputusan tersebut menjelaskan perihal pengakuan Hak Gelek Kawilis Pasa atas tanah seluas 3.247 hektare. Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami, hal ini merupakan sejarah baru di Kabupaten Sorong.
Keputusan ini telah ditunggu masyarakat sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong.
“Keputusan Bupati ini yang pertama di Kabupaten Sorong. Melalui pengakuan hak masyarakat akan lebih kuat untuk menjaga hutan dan tanah adat. Masyarakat harus menjaga hutan dan tanah adat guna keberlanjutan kehidupan,” ungkap Silas dalam siaran pers.
Silas melanjutkan bahwa pengakuan in sekaligus penegasan bahwa pembangunan yang masuk ke Sorong harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarkat adat.
“Bila ada pembangunan yang masuk harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat adat, jangan sampai mengorbankan masyarakat adat. Bila hutan dan tanah sudah tidak ada maka tidak dapat disebut lagi sebagai masyarakat adat,” sambungnya.
Dalam Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor 593.2/KEP.345/IX/TAHUN 2021, pengakuan Hak Gelek Malak Kalawis sudah resmi. Bupati Sorong, Dr Johny Kamuru, SH., M.Si. menyebut bahwa ini adalah upayanya dalam melindungan masyarakat adat dan alam.
Dalam SK tersebu tertulis bahwa pengakuan Hak Gelek Malak Kalawis Pasa mencakup hak atas tahan, hak penguasaan hutan adat, sejarah penguasaan tanah berdasarkan silsilah keluarga dan pewarisan adat.
“Sebagai Bupati saya memiliki momentum untuk melakukan evaluasi dan mencabut izin-izin
perkebunan kelapa sawit. Pemberian pengakuan hak kepada marga Gelek Malak agar masyarakat menjaga dengan mengelola ekonomi dan memamfaatkan sumber daya alam yang ada, jangan siasiakan kesempatan pemberian hak adat kepada masyarakat adat,” jelas Johny.
“SK Pengakuan ini akan diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Rakyat Tidak Ingin Kelapa Sawit
“Kami tidak mau ada kelapa sawit dan kami mendukung bupati Sorong. Kami juga mendesak sumpah adat untuk buat bambu tui (bambu pamali) supaya tidak ada yang berani kasih tanah untuk perusahaan kelapa sawit,” ungkap Pieter Koso, wakil Dewan Adat Konhir.
Pernyataan tersebut menegaskan penolakan warga terhadap keberadaan lahan sawit di Sorong. Hal ini juga disampaikan oleh Ketua Gelek Malak Kalawilis Pasa, Herman Malak. Baginyam ini adalah kemenangan masyarakat atas penolakan perusahaan sawit.
“Kami Gelek Malak membuktikan kami bisa menjaga tanah dan hutan adat, kami memberikan contoh kepada marga-marga lain untuk bersama-sama menjaga hutan dan tanah adat. Kami senang telah menerima SK Pengakuan, apakah masyarakat lainnya ingin ikut seperti saya, saya mengajak marga lain mendukung bapak bupati menolak perkebunan kepala sawit,” papar Herman.
Pengakuan Hak Gelek Malak Kalawilis Pasa memiliki potensi yang kuat, tak hanya dalam segi sosial. Dari segi ekologi, pengakuan hutan adat ini dapat menjadi contoh bagi wilayah lain yang ada di Indonesia bahwa upaya menyelamatkan hutan itu nyata.
Hal ini disampaikan oleh Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Ia berharap bahwa model solusi yang terjadi di Sorong ini bisa diterapkan di seluruh wilayah adat Indonesia.
“Pengakuan hak masyarakat adat ini merupakan sebuah model solusi yang bisa diaplikasikan di seluruh wilayah adat Indonesia. Dengan adanya hasil sidang adat dan keputusan bupati tersebut, kami berharap institusi terkait dapat menghormatinya dan menjalankannya,” ungkap Nico.