Teluk Bintuni adalah daerah dengan luasan hutan mangrove terbesar di Indonesia. Dengan luasan 124.850 Ha, hutan mangrove di Teluk Bintuni bisa dikatakan menjadi paru-paru negara ini. Dengan kandungan biota maupun gambut yang menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar, pada tahun 1999, mangrove Bintuni ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai kawasan cagar alam dengan SK Menhut No.891/Kpts-II/1999.
Menyandang status sebagai kawasan konservasi, berbagai konsekuensi pun hadir dengan status hukum tersebut. Yang paling utama dengan adanya status sebagai kawasan konservasi, adalah tidak diperbolehkannya segala kegiatan pemanfaatan kawasan ini untuk keperluan komersil. Hal ini dimaksudkan agar segala biota dan unsur pendukung mangrove yang berada pada kawasan ini bisa terlindungi dengan baik oleh negara.
Status cagar alam yang tidak boleh dialihfungsikan untuk kepentingan komersil pun diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Pada pasal 17 ayat (1) UU 5/1990 khususnya, dikatakan bahwa di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Mengenai pemanfaatan cagar alam juga diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a.   penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b.   pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Maka, status hutan mangrove Teluk Bintuni, jelas tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan komersil yang bisa mengubah wajah mangrove tersebut, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang menunjang budidaya.
Manfaat ekologi yang terkandung di dalam hutan mangrove menjadi salah satu alasan mengapa wajah hutan ini tidak boleh berubah. Ikan, kepiting, reptil serta ampibi yang berhabitat di hutan ini, menjadi sebuah lingkaran mutualis yang saling membutuhkan. Dan ini berpengaruh terhadap kehidupan penyangga mangrove lainnya, serta menjadi tumpuan hidup masyarakat Teluk Bintuni pada umumnya.
Jika ekosistem ini kemudian terganggu, apalagi dengan dibangunnya cottage maupun hotel sebagai bagian dari wisata mangrove, maka ada satu rantai terputus, yang mengganggu keseimbangan alam yang selama ini terjaga di kawasan ini.
Membangun cottage pada kawasan mangrove, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, namun juga dapat menimbulkan efek lainnya. Bisa saja menjadikan momen ini untuk mengambil manfaat mangrove untuk kepentingan industri lainnya. Contohnya, konsesi sawit.
Patut dipertanyakan perihal ikhwal tercetusnya ide untuk membangun cottage pada kawasan mangrove sebagai bagian dari eco wisata Bintuni. Antara memang tidak mengerti tentang status hutan mangrove Bintuni, ataukah memang mempunyai ide industrialisasi hutan mangrove yang lebih besar lainnya dengan menjadikan cottage di mangrove Bintuni sebagai pijakan awal.
Padahal ide Wisata Mangrove ini bisa memiliki output yang lebih baik dari sekadar membangun hotel atau cottage di kawasan konservasi. Ir Petrus Kasihiw, pernah mempunyai ide yang cukup brilian mengenai Wisata Mangrove Teluk Bintuni.
Sekiranya pada tahun 2020 ini, seharusnya perhelatan Festival Mangrove akan diadakan, untuk memperkenalkan kawasan ini sebagai objek wisata. Ide wisata mangrove yang tercetuskan oleh Piet Kasihiw adalah wisata mengelilingi hutan mangrove Bintuni menggunakan kapal yang tentunya telah ditingkatkan baik fasilitas maupun kenyamanannya, sambil mengamati biota, bahkan juga adanya kegiatan wisata memancing.
Mungkin ide ini terdengar sederhana, namun potensi wisatawan dari Radja Ampat, misalnya, bisa juga menjadikan Bintuni sebagai destinasi tambahan. Inilah yang dimaksud dengan Eco Wisata yang sebenarnya, pemanfaatan alam sebagai sumber ekonomi tanpa mengubah wajah dari kawasan konservasi.