Elektabilitas seorang pemimpin pada saat masa kampanye Pilkada, bukan hanya ditakar melalui jejak dari sosok calon pemimpin. Pengaruh dari partai pengusung juga cukup banyak ikut mempengaruhi “harga jual” dari sosok tersebut.
Setidaknya pengaruh partai pengusung yang telah lolos uji parliamentary treshold, yang dipercaya lebih bisa mendapatkan suara yang didulang dalam pemilihan legislatif, kembali diuji dengan kinerja partai selama pemerintahan daerah maupun pusat berlangsung.
Ditangkapnya Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Operasi Tangkap Tangan KPK, cukup memberikan efek kejut yang luar biasa bagi partai Gerindra. Bagaimana tidak? Orang nomor dua pada partai Gerindra tersebut tertangkap ketika menjalani mandat presiden hanya pada tahun pertama saja.
Ini merupakan fenomena politik yang cukup besar, terutama ketika Pilkada 2020 sedang berlangsung pada tahap kampanye kedua. Elektabilitas sosok atau tokoh yang diusung oleh Partai Gerindra, kurang lebih bisa terseok menyusul OTT ini.
Rekam jejak calon pemimpin daerah maupun wakilnya bisa menjadi tercoreng. Apalagi jika si calon sendiri mempunyai rekam jejak yang cukup buruk pada isu korupsi. Maka baik calon maupun partai pengusungnya bisa dianggap sebagai lingkaran yang tak jauh dari nilai ketidakjujuran.
Paling tidak fenomena ini pernah terjadi pada pemilihan presiden di tahun 2019 ketika Ir. H. Muhammad Romahurmuzi dari Partai Persatuan Pembangunan yang terjerat OTT KPK di Jawa Timur, 2019 silam, tepat ketika masa kampanye sedang berlangsung.
Paling tidak, pada 2019 silam, elektabilitas Presiden Jokowi dengan kinerja pembangunannya masih bisa menutupi tabir gelap dari partai pengusungnya yang terjaring OTT. Namun jika elektabilitas pengusung dan yang diusung, kedua atau ketiganya berada pada ambang nilai kejujuran dalam hal korupsi, maka habislah marwah yang diusung oleh pasangan calon.