HomeKabar BintuniPesta Demokrasi Sebagai Upaya Melanggengkan Oligarki

Pesta Demokrasi Sebagai Upaya Melanggengkan Oligarki

Yohanes Akwan, Ketua DPD GSBI Papua Barat

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan perhelatan demokrasi yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Di sinilah sebuah peristiwa bisa tercipta dengan andil masyarakat secara langsung. Rakyat akan memilih seorang pemimpin yang akan menentukan nasib mereka untuk lima tahun ke depan.

Tapi tak jarang perhelatan ini justru menjadi ajang pemeliharaan oligarki serta upaya reservasi kekuasaan keluarga serta mengamankan bisnis keluarga yang telah mengular sekian lama. Banyak daerah yang telah menjadi contoh model kepemimpinan seperti ini. Banten merupakan salah satu contoh nyata, bagaimana masyarakat dipergunakan bukan hanya untuk memuaskan syahwat politik, namun bagaimana kekuasaan itu dipergunakan untuk memperkaya diri dan keluarga sendiri.

Hal ini diungkap oleh Yohanes Akwan, Ketua DPD Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Provinsi Papua Barat, pada acara temu calon kader GSBI di Teluk Bintuni, 25/09/2020. Menurutnya buruh sebagai elemen yang biasanya sangat dibutuhkan suaranya pada pemilihan kepala daerah, seringkali hanya diberi janji-janji palsu untuk melanggengkan sebuah kepentingan tertentu.

“Upaya mereservasi kekuasaan keluarga ini banyak terjadi, baik sebelum dan paska era reformasi. Kita sebutlah sebagai kerajaan-kerajaan kecil. Feodalisme bersalut demokrasi ini menunjukkan atraksi yang luar biasa ketika momen dari pemilihan kepala desa hingga kepala daerah terjadi,” ungkap Yohanes.

“Rakyat dipertontonkan dengan janji-janji palsu, propaganda-propaganda diluncurkan sebagai hasutan yang akan mempengaruhi elektabilitas lawan. Demagogi bertebaran, seolah satria piningit, rakyat diiming-imingi akan sosok yang hampir merasa harus dikultuskan,” ujarnya melanjutkan.

Yohanes melanjutkan, pada kontestasi Pilkada Teluk Bintuni ini, masyarakat harus cerdas untuk memilih pemimpin yang bisa mengamankan hak-hak dari masyarakat adat Sisar Matiti terutama, juga perlindungan kepada masyarakat pada umumnya.

“Model seperti ini biasanya terjadi ketika salah satu keluarga telah merasakan manisnya tampuk kepemimpinan di sebuah daerah. Ketika jabatan tersebut berakhir, ada sejumlah persoalan yang menyangkut bisnis pribadi, dirasa harus diselamatkan dan diamankan. Terutama di daerah-daerah industri dengan sumber kekayaan alam yang begitu besar. Kita lihat lah contoh, Ratu Atut dan keluarganya yang begitu menguasai Banten. Ini yang saya maksud, kita harus bisa cerdas memilih, mana yang akan mengamankan hak masyarakat adat, yang sudah sejauh mana memperjuangkan hak-hak adat untuk 7 suku di Negeri Sisar Matiti ini, dan juga perlindungan yang sama kepada masyarakat secara luas,” katanya.

Yohanes mewanti-wanti masyarakat perihal calon-calon boneka yang diajukan dalam kontestasi “ketika paska reformasi membatasi masa kepemimpinan seorang kepala daerah hanya bisa untuk dua periode, banyak oknum merasa gerah. 10 tahun bukanlah waktu yang cukup bagi bisnisnya yang harus menggurita. Maka diajukanlah sosok yang akan menjual nama yang lebih popular dan familiar di telinga dan mata masyarakat. Ini pola-pola yang sering kita lihat di seluruh Indonesia. Saya berbicara pada konteks nasional,”.

Yohanes pada saat yang sama juga memberi apresiasi kepada masyarakat yang sudah cukup cerdas untuk membedakan, karena masyarakat adalah pihak pemberi mandat, mereka yang bisa merasakan. Pembangunan apa yang sudah dilaksanakan? Apa masyarakat hanya bisa dianggap sebagai pelipur ketika masa pemilihan tiba? Tentu tidak.

Yohanes juga menyoroti soal politik identitas dan upaya SARA yang sepertinya lazim dipergunakan sebagai metoda kampanye paska Pilkada DKI Jakarta. “Rakyat jangan mau dibodohi dengan upaya-upaya pecah belah seperti ini. Efek dari politik hitam yang hanya bisa mempropagandakan identitas, SARA serta fitnah bisa menjadi trauma panjang bagi perkembangan masyarakat. Kita sudah cukup dewasa dalam dunia demokrasi. Pilihlah pemimpin yang telah membangun nyata, baik masyarakat maupun infrastrukturnya. Jadikanlah pemimpin yang selalu mengutamakan rakyat dan lingkungan untuk bisa terus memberi kontribusi pada daerah. Pilihlah sosok yang mau melanjutkan dengan kesederhanaannya bisa melakukan perubahan. Putuskan garis kekuasaan keluarga untuk selamanya. Jadikan suara rakyat, suara Tuhan, selamatkan hak-hak masyarakat adat, selamatkan rakyat” pungkas Yohanes.  

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments