HomeKabar BintuniPantai Tembok Berlin, Masalah Reklamasi yang Tak Kunjung Basi

Pantai Tembok Berlin, Masalah Reklamasi yang Tak Kunjung Basi

ilustrasi penambangan untuk reklamasi. foto: pixabay.

“Saya ingat Tembok Berlin itu setiap hujan, kami sama anak-anak remaja yang lainnya turun mandi di pante itu. Dulu rame sekali, karena kan destinasi wisata untuk anak-anak muda Kota Sorong, untuk melepas lelah. Sebelum pusat kota di Aimas, di Lapangan Hoki, kami dulu sangat senang. Apalagi dia di pusat kota. Itu kalau hujan, anana dari Kampung Baru, Rufei, semua datang baru mandi di Tembok Berlin,” kenang Salmon, ketika bercerita tentang masa mudanya di Kota Sorong.

Pantai Tembok Berlin, Kota Sorong. Sumber: Indonesia Kaya.

Kini, sejak 2017, Tembok Berlin telah direklamasi. Pantai dan tawa bahagia anak-anak dan remaja berganti menjadi deru mesin backhoe dan knalpot truk dan kendaraan pengangkut besar yang berlalu lalang. Proyek reklamasi yang sudah berjalan empat tahun ini, rencananya akan menjadikan area seluas 25 hektare sebagai tujuan pembangunan kawasan ekonomi. Nantinya, daerah ini akan dilengkapi perhotelan, restoran, taman wisata, taman hijau dengan konsep modern seperti di Hongkong dan Jepang. http://bicarauntukrakyat.com/2021/10/21/sepintas-soal-reklamasi-sorong-modernisasi-untuk-rakyat/

Namun, seperti proyek reklamasi yang lainnya, ada risiko lingkungan yang harus dikorbankan demi pembangunan. Rencana Kegiatan Penambangan Galian C yang sedang diupayakan, ternyata bermasalah.

Hal ini muncul dalam Pengumpulan Bahan dan Keterangan (Pulbaket) Ditjen PSDKP-KKP, yang dilakukan pada tanggal 10 dan 11 Agustus 2021. Melalui surat Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktoral Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor B.27582/DJPSDKP/X/2021 tanggal 11 Oktober 2021, Ditjen mengusulkan agar izin eksplorasi dan penambangan pada Galian C yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, agar dapat dievaluasi lagi, karena dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan karena aktivitas pertambangan.

Adapun dalam surat tersebut, Ditejen menyebutkan ada lima perusahaan yang aktivitasnya berdampak langsung pada kerusakan lingkungan, yakni; PT Bagus Jaya Abadi, PT Pro Intertecha, PT Akam, PT Davico Enginering dan PT Lintas Arta Lestari. Dan dari lima perusahaan tersebut, setidaknya ada tiga perusahaan, yakni PT Bagus Jaya Abadi, PT Pro Intertecha dan PT Akam yang melanggar izin reklamasi secara langsung.

YLBH Sisar Matiti Menolak Izin Reklamasi Sebagai Perdasus

 

 

Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti.

Meskipun Ditjen KKP telah mengeluarkan Pulbaket yang meminta agar izin galian tersebut dievaluasi lagi, ada sebuah upaya, agar izin tersebut masuk dalam rancangan peraturan daerah khusus RTRW Papua Barat, melalui DPR Provinsi Papua Barat, dalam pembahasan Tata Ruang dan Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Yohanes Akwan, SH., selaku Direktur Eksekutif, mewanti-wanti agar DPR Papua Barat tidak mengakomodir keinginan tersebut, karena bertentangan dengan Pulbaket yang telah dikeluarkan oleh Ditjen KKP.

“Karena diduga kegiatan reklamasi bermasalah, maka, kepada Pemerintah Propinsi Papua Barat dan DPR Propinsi Papua Barat agar tidak menyetujui usulan reklamasi galian C pada rancangan peraturan daerah khusus RTRW Papua Barat. Dan apabila tetap dipaksakan untuk dimasukan dalam rancangan raperdasus RTRW Papua Barat, maka, kami Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti akan melaporkan kepada: (1) Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daua Kelautan dan Perikanan; (2) KLHK di Jakarta,” ungkap Akwan, melalui sambungan telepon pada, (11/11).

Akwan menambahkan, Izin galian C, tidak boleh dimasukkan dalam Perdasus, namun harus dikembalikan lagi kepada Pemda Kota Sorong, dan evaluasi menyeluruh harus dilakukan, karena alasan penyelamatan ekologi, sumber daya alam pesisir, lingkungan hidup dan pentingnya memperhatikan secara detail memasukan wilayah kelolah dari masyarakat hukum adat secara berkelanjutan.

“Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Nelayan, harus diperhatikan dalam izin prinsip reklamasi. Sekali lagi, kami minta agar DPRD Papua Barat dan Pemerintah Propinsi Papua Barat agar taat asas dan tidak bermain-main dengan hukum, terlebih khusus berhubungan dengan delik penggunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 3 Undang-undang PTPK No. 30 Tahun 2014, ditinjau dari hukum Administrasi, pungkas Akwan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments