HomeKabar BintuniKontribusi Masyarakat Adat pada Alam: Jaga 32,7 Gigaton Karbon

Kontribusi Masyarakat Adat pada Alam: Jaga 32,7 Gigaton Karbon

ilustrasi hutan adat. foto: pixabay

Tahu kah Anda? Pulau kecil dari Aceh hingga Papua mulai tenggelam. Ini adalah bukti nyata dari krisis alam yang membuat permukaan air laut naik. Secara global, permukaan air laut naik sekitar 21–24 cm sejak tahun 1880.

Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut bahwa sekitar 115 pulau kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam. Dari lembaga riset Climate Central bahkan menyebut, sebagian wilayah pantai utara Jawa akan tenggelam.

Krisis alam bukanlah isapan jempol belaka. Seluruh dunia saat ini seakan terbuka matanya akan persoalan yang mengancam seluruh umat manusia. Manusia kini harus pintar-pintar mengelola gaya hidupnya, khususnya soal dampaknya pada lingkungan.

Berbicara soal gaya hidup, kelestarian alam merupakan salah satu gaya hidup dari masyarakat adat. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hutan adat di Indonesia berhasil berkontribusi dalam menjaga karbon sebesar 32,7 Gigaton.

Apa dampaknya? Hal itu mendorong Indonesia dalam menyimpan 10 persen karbon hutan tropis dunia. Secara sederhana, hutan adat penting dalam mengatasi perubahan iklim. 

Urgensi Menyadari Kontribusi Masyarakat Adat

Pandemi membuka mata masyarakat pentingnya alam bagi mereka. Bayangkan, saat wabah korona, ekonomi yang bertumpu pada kapital besar runtuh. Teknologi tak lagi mampu menopang krisis, khususnya pangan.

Berbeda dengan masyarakat adat yang hidup dari alam. Mereka memiliki stok pangan yang cukup untuk hidup, bahkan lingkungan yang sehat. Berdasarkan penelitian, wilayah pedesaan relatif lebih aman dari kota dalam hal korona.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan bahwa ini adalah bukti masyarakat adat merupakan aset dalam pembangunan di masa depan. 

Menurutnya, banyak hal dari masyarakat adat yang ditinggalkan dan diabaikan. Padahal, masyarakat adat telah menunjukkan kelanggengannya dalam hal bertahan hidup.

“Ini menunjukkan bahwa masyarakat adat ini adalah aset pembangunan, aktor pembangunan, potensi yang seharusnya menjadi kekuatan bagi Indonesia,” ungkapnya.

“Jadi yang namanya ekonomi kerakyatan, basisnya solidaritas itu kemudian dihapus sama sekali dalam paradigma pembangunan Indonesia, dan itulah menunjukkan kenapa dalam keyakinan kami itulah yang membuat Indonesia sangat fragile, rentan terhadap guncangan ekonomi,” katanya.

Perlindungan atas masyarakat adat menjadi penting. Selain menjadi aset pembangunan, masyarakat adat juga menjadi kunci dalam kelestarian alam dan bumi. Rukka menyebut, masyarakat adat telah berkontribusi dalam banyak hal, misalnya udara yang sehat, menjaga karbon, flora dan fauna, bahkan pangan. Oleh karenanya, pemerintah harus melihat masyarakat adat sebagai investasi.

“Jasa lingkungan dari wilayah adat senilai Rp150 miliar per tahun akan hilang ketika kita menggunakan ekstraktif industri. Tak akan ada jasa lingkungan dari sawit, justru pengrusakan lingkungan. Tak akan ada jasa lingkungan dari logging, pasti pengrusakan lingkungan. Justru hutannya minus dari jasa lingkungan tapi justru mendapatkan insentif, bantuan alih teknologi supaya produktivitas bisa meningkat,” tambahnya.

Investasi yang dimaksud oleh Rukka merupakan investasi jangka panjang dalam hal pembangunan berkelanjutan. Maksudnya, tanah dan lahan adat tidak lagi dilihat hanya sekadar tahan yang bisa dialihfungsikan.

Misalnya, Rukka membandingkannya dengan food estate. Alih-alih setuju dengan konsep itu, ia menyarankan untuk meneliti produktivitas food estate dengan hutan adat. Dibandingkan mengeluarkan dana dan teknologi untuk food estate, mengapa tidak bantu mengelola hutan adat?

“Kita sebenarnya mau saja bersanding dengan food estate, seberapa besar sih produktivitas mereka dan masyarakat adat kalau boleh dipertandingkan, dengan input yang sama, dengan dukungan kebijakan yang sama, dengan dukungan modal dan teknologi yang sama,” jelas Rukka.

 

Sumber:

Chandra, Wahyu. 2021. Kontribusi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan Tak Bisa Diremehkan. Mongabay edisi 8 Maret 2021.

Rosary, Ebed de. 2021. Masyarakat Adat, Krisis Iklim dan Konflik Pembangunan. Bagaimana Solusinya? Mongabay edisi 16 Oktober 2021.

Wibawa, Shierine Wangsa. 2021. Akibat Perubahan Iklim, Pulau Kecil Sepanjang Aceh-Papua Nyaris Tenggelam. Kompas edisi 1 November 2021

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments