Bicarauntukrakyat.com–Mangrove memiliki nilai yang luar biasa. Tak hanya dari segi ekologi, namun juga segi ekonomi. Mungkin, sebagian berpikir nilai mangrove terletak dari sumber daya yang ada di dalamnya. Sebutlah udang atau kepiting. Lainnya lagi, mangrove punya nilai ekowisata.
Namun, mangrove punya nilai yang lebih dari itu semua. Salah satunya berkaitan dengan kemampuan mangrove dalam menyerap emisi karbon.
Tak banyak yang tahu perihal potensi perdagangan karbon. Padahal, keuntungan dari aktivitas tersebut boleh jadi melebihi ekspor industri udang. Hal ini sebagaimana pernyataan Murdiyarso, Ilmuwan Utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) beberapa tahun lalu.
“Jika satu ton karbon dihargai 5 dolar AS, dan jika Indonesia mampu menghentikan emisi dari degradasi ekosistem karbon biru pesisir, angkanya mencapai 6 miliar dolar AS sebagai pemasukan dari pasar karbon,” ungkapnya dalam situs resmi forestnews.cifor.org.
Angka 6 milyar adalah angka yang jauh dari perdagangan industri udang. Menurut informasi, perdagangan ekspor industri udang Indonesia mencapai 1,2 dollar AS. Artinya, perdagangan karbon sekitar 4 kali lipat lebih menguntungkan.
Tentu hal ini mengundang tanya dari sebagian pihak. Apa itu perdagangan karbon? Dari mana karbon itu berasal? Dan bagaimana karbon bisa menjadi sumber pemasukan yang sangat besar?
Perdagangan Karbon: Jual-beli Emisi untuk Lindungi Bumi
Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat terkait kemampuan suatu negara dalam mengurangi emisi karbon. Ini merupakan kegiatan mitigasi perubahan iklim yang menjadi ancaman serius kehidupan manusia ke depan.
Carbon trading atau perdagangan karbon menjual emisi karbondioksida seperti metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), sulfur heksafluorida (SF6), dan tentunya karbondioksida (CO2) itu sendiri.
Lantas, siapa pembelinya? Dan, untuk apa?
Pembeli karbon adalah negara maju yang memproduksi emisi karbon dengan jumlah yang besar tanpa memiliki kemampuan untuk menguranginya. Semetara penjual adalah negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyerapan karbon.
Dengan kata lain, perdagangan karbon dapat dikatakan sebagai uang jasa kepada negara yang memiliki kemampuan untuk menyerap emisi. Uang ini berasal dari negara yang tidak mampu melakukan penyerapan emisi. Sehingga dengan membayarkan uang tersebut, mereka mampu meraih target penurunan emisi mereka.
Boleh dibilang, perdagangan ini adalah perdagangan di atas kertas yang komoditinya tak langsung terlihat.
Karbon dihargai 1 ton penurunan emisi karbon atau disebut dengan kredit karbon. Saat ini, harga 1 ton kredit karbon adalah 5 dollar AS atau setara dengan 72.617 rupiah per ton.
Indonesia sendiri sudah melakukan aktivitas perdagangan karbon sejak 2005. Melalui melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih, Indonesia punya 2015 proyek yang berhasil menurunkan sebesar 10.097,175 ton CO2e (satuan: karbondioksida ekuivalen).
Setidaknya, Data Kementerian Lingkungan Hukum dan Kehutanan tahun 2015 menyebut, Indonesia berhasil meraup 150 juta dollar AS atau Rp2,1 triliun dari perdagangan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya, dari mana sumber karbon penyerapan karbon Indonesia?
Indonesia dan Lahan Mangrove Terbesar di Dunia
Hutan mangrove adalah salah satu sumber terbesar dari komoditas perdagangan karbon. Kemampuannya dalam menyerap emisi karbondioksida sudah teruji secara internasional. Mangrove mampu menyerap emisi karbon dan menyimpannya menjadi karbon biru–sebutan karbon yang diserap mangrove.
Baca Juga: Lahan Mangrove Bukan Lahan Sampah
Bayangkan, menurut fact sheet “Indonesia Blue Carbon Strategy Framework (IBCSF)”, Indonesia merupakan areal mangrove terbesar dunia. Luasnya mencapai 3,2 juta hektare yang memiliki potensi total penyimpanan karbon biru sebesar 3,4 gigaton. Bayangkan, berapa dana yang bisa diperoleh Indonesia dari stok karbon tersebut?
Hal ini menjelaskan bahwa ekosistem mangrove jika dimanfaatkan dengan cara yang tepat, mampu menjadi sumber pemasukan yang besar. Dari sana, kesadaran akan pelestarian dan perlindungan ekosistem mangrove perlu menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan.
“Di Indonesia, panduan nasional melakukan konservasi dan restorasi mangrove masih kurang. Satu-satunya regulasi (Peraturan Presiden No.73/2012) strategi manajemen ekosistem mangrove nasional masih belum cukup,karena sebatas koordinasi saja. Dalam regulasi tersebut, dirinci siapa seharusnya melakukan apa, namun tidak dijelaskan sedikit pun mengenai bagaimana,” ungkap Murdiyarso.
Sumber: