
Menjadi pengetahuan umum bahwa sagu dan ubi merupakan pangan lokal masyarakat Papua dan Papua Barat. Pangan lokal tersebut hadir bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari, namun juga pelengkap adat dan budaya.
Ubi, misalnya. Meskipun sebagian menyebut ubi jalar bukan berasal dari Papua asli, namun ubi telah melekat pada nilai budaya masyarakat Papua dan Papua Barat.
“Ubi jalar bagi masyarakat Baliem sama pentingnya dengan manusia Lembah Baliem itu sendiri. Ubi jalar bukan hanya bergizi, tapi juga nilai budaya. Semua pendidikan bagi anak-anak hingga mereka dewasa, terjadi di kebun, tempat ubi jalar ditanam,” tutur Kiloner, seorang warga Wamena.
“Orang tua juga mengajarkan segala sesuatu untuk kehidupan ini, seperti etika, moral dan pendidikan keluarga diajarkan di kebun,” imbuhnya.
Begitu juga sagu. Masyarakat Papua memanfaatkan sagu sebagai sumber penghidupan mulai dari menjaga tata air, batangnya untuk kayu hingga berbagai kerajinan tangan, serta daunnya untuk atap rumah hingga makanan ternak dan obat. Berdasarkan hasil penelitian Tim Peneliti Sagu Papua, makanan sagu bagi masyarakat Papua bukan sekadar asupan pokok, melainkan representasi budaya orang Papua.
“Bagi masyarakat Papua, sagu adalah makanan pokok salah satu representasi budaya masyarakat atau kearifan lokal Papua yakni pohon sagu,” kata Laksanto Utomo, Ketua Tim Peneliti Sagu Papua, dalam penelitiannya, mengutip Gatra edisi Selasa (09/07/2021).
Isu pangan lokal ini menjadi kemudian menjadi sorotan kala program lumbung pangan masuk ke Timur Indonesia. Persoalannya adalah ketika pemerataan beras sebagai makanan pokok seluruh masyarakat Indonesia.
Sejak beras menjad komoditas strategis politis di zaman Orde Baru, konsumsi beras di Indonesia meningkat pesat. Di balik tabir ketahanan pangan itu, muncul yang disebut sebagai pergeseran pola pangan.
Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa pergeseran pola pangan berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Papua, khususnya aspek kesehatan. Misalnya, peningkatan risiko kasus hipertensi di Papua berdasarkan penelitian ’Pola Makan Suku Asli Papua dan Non-Papua Sebagai Faktor Risiko’
Kemudian lainnya, kasus peningkatan penyakit Diabetes Meliatus di Distrik Makimi, Kampung Makimi tahun 2013-2016. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak sehat di mana kebanyakan nasi dilihat sebagai komoditas yang lebih baik dari pangan lokal.
Kenapa Diversifikasi Pangan Tidak Berjalan Baik?
Program diversifikasi pangan sudah ada sejak tahun 1960-an. Program ini mendorong pemanfaatan pangan lokal agar tercapainya Pola Pangan Harapan (PPH) atau pola konsumsi yang sehat. Singkatnya, makanan yang sehat tidak terdiri dari 1 komoditas saja. Kendati demikian, program ini tidak berjalan baik di Papua dan Papua Barat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Manokwari dan Universitas Muhammadiyah Bandung, persepsi masyarakat tentang pangan lokal telah bergeser. Masyarakat menilai beras lebih mudah diperoleh daripada sagu dan ubi.
Ada beberapa alasan mengapa program diversifikasi pangan masih terhambat. Pertama, tidak terdapat institusi tingkat pusat yang menangani diversifikasi konsumsi pangan. Kedua, beras dijadikan konsep makan, pola pangan pokok dan lambang kemakmuran. Ketiga, tidak konsistennya kebijakan diversifikasi konsumsi pangan dalam pelaksanaannya, sehingga kebijakan pemerintahpun juga tumpang tindih.
Selanjutnya, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan agar pangan yang dikonsumsi masyarakat beragam dan penurunan tingkat konsumsi beras. akan tetapi program peningkatan pangan sejak tahun 2008 diutamakan untuk peningkatan produksi beras melalui Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN).
Selain itu, makanan lain seperti mi instan dan jenis produknya yang cukup banyak dan bervariasi juga turut menggeser makanan lokal. Pergeseran pangan lokal juga didukung oleh minimnya pengembangan teknologi pengolahan non beras dan non terigu terbatas.
Sumber:
Afriyansah, Indra Irjani Dewijanti. 2021. Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Pola Konsumsi Pangan Lokal Ke Pangan Beras Di Papua Barat. JBS (Jurnal Berbasis Sosial) Pendidikan IPS STKIP Al Maksum Vol 1, No 2, Desember 2020.
Baransano, Rosdiana, dkk. 2019. Dampak Perubahan Pola Konsumsi Pangan Lokal Ubi dan Sagu Menjadi Pangan Beras di Kampung Makimi, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. E- Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, Vol. 8, No. 2, April 2019
Bella, Sarni Rante Allo, dkk. 2014. Pola Makan Suku Asli Papua dan Non-Papua Sebagai Faktor Risiko. Jurnal Klinik Indonesia, Vol 10, No 4, 2014