
Kembali menengok ke belakang, program lumbung pangan Indonesia kerap bermasalah. Bukan hanya program food estate yang baru-baru ini kembali ramai dibicarakan. Namun juga program sejak zaman pemerintahan Soeharto tahun 1996.
Tahun itu, Program Food Estate PLG Presiden Soeharto di Kalteng gagal lantaran jenis padi IR 66 dan padi jenis SAM yang ditanam Menteri Pertanian saat itu, Sjarifudin I Baharsjah, tidak cocok dengan tanah rawa gambut. Program tersebut tak lain menjadi janji usang.
Kemudian pada era SBY, pemerintah melakukan setidaknya 3 program yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011); Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011); dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013).Â
Program ini dinilai kurang tepat karena justru memindahkan hutan dan sumber pangan Masyarakat Adat Malind Anim ke tangan korporasi. Hal ini membuat program food estate di era Jokowi dipertanyakan.
Sejatinya, ketahanan pangan tak melulu diselesaikan dengan program lumbung pangan atau food estate. Misalkan, mengacu pada UU Pangan, konsep ketahanan pangan mencakup kepastian keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang bermutu dan bergizi seimbang, secara merata, sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.
Berdasarkan Laporan Panel Ahli Tingkat Tinggi Komite World Food Security, dimensi ketahanan pangan punya banyak dimensi. Antara lain, ketersediaan pangan; akses terhadap pangan secara fisik dan ekonomi; kemampuan penyerapan pangan untuk pemenuhan gizi dan kesehatan.
Termasuk ketersediaan dan akses terhadap pangan secara berkesinambungan; kebebasan menentukan secara independen pangan yang dimakan, diproduksi dan partisipasi dalam kebijakan pangan; serta memastikan pangan yang tersedia sekarang tidak mengorbankan pangan untuk generasi mendatang.
Mengutip World Resources Institute Indonesia (WRI), program food estate jangan sampai menghilangkan dimensi dari ketahanan pangan tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan. Misalnya, bagaimana kasus gizi buruk di suku Asmat pada tahun 2018 lantaran pergeseran pangan dari sagu ke nasi.
3 Alasan Mengapa Food Estate yang Melatarbelakangi Kegagalan Food Estate
WRI menyebutkan setidaknya ada 3 alasan mengapa lumbung pangan atau food estate belum dapat menjawab tantangan ketahanan pangan. Pertama, food estate tidak menjawab permasalahan distribusi pangan.
Global Food Security Index menilai Indonesia memiliki distribusi pangan yang bermasalahan. Sehingga akar permasalahan utama dari ketahanan pangan Indonesia boleh jadi berasal dari permasalahan distribusi yang tak kunjung usai.
Kedua, food estate tidak menjawab masalah akses terhadap pangan yang sehat. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir harga beras di Indonesia lebih tinggi dari harga beras di pasar internasional. Tingginya harga makanan sehat membuat masyarakat Indonesia mengalami kelaparan kronis dan malnutrisi.
Berdasarkan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019, tingkat stunting pada anak Indonesia menyentuh 27,67 persen. Angka ini tergolong tinggi berdasarkan standar WHO yakni 20 persen. Kehadiran food estate dikhawatirkan tidak dapat menjawab persoalan malnutrisi di Indonesia.
Ketiga, intervensi bagi permasalahan pangan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara-cara yang memiliki risiko lingkungan, ekonomi dan kesehatan. Salah satu sorotan dalam program lumbung pangan adalah risiko lingkungan.
Program cetak sawah dengan metode bakar lahan menjadi persoalan serius. Tahun 2019, kebakaran hutan di lahan gambut memiliki kerugian ekonomi sebesar 72,95 triliun rupiah. Belum lagi masalah kesehatan dan lingkungan yang muncul.
Sumber:
Nipitupulu, Lucentezza, dkk. 2021. 3 Alasan ‘Food Estate’ Belum Menjawab Agenda Ketahanan Pangan dan Gizi. WRI Indonesia edisi 30 Januari 2021.