Ada sebab mengapa ada pernyataan otsus dinilai gagal oleh sebagian orang. Sejumlah pengamat menyebut bahwa otonomi khusus di Papua telah mengalami kemunduran. Misalnya, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia.
Ia mengatakan otsus telah lari dari tujuan utamanya yakni desentralisasi kekuasaan. Yang terjadi adalah pembalikan desentralisasi kekuasaan, melalui otonomi khusus di mana pada faktanya saat ini terdapat upaya pemusatan pemerintahan kepada 1 pihak.
Secara umum, inkonsistensi otsus Papua dapat dirangkum secara historis ke dalam dua poin utama. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor Melkias Hetharia, ruh otsus terdapat dalam 2 perkara utama.
Dua ruh otsus Papua tersebut adalah pembangunan dan kesejahteraan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Ketika otsus tidak terbukti berusaha untuk memperbaiki dua permasalahan tersebut, maka timbul wacana terkait inkonsistensi otsus Papua.
Pandangan inkonsistensi dan kegagalan otsus pun memiliki berbagai sudut pandang. Sebagaimana dijelaskan di atas, beberapa pengamat setuju bahwa inkonsistensi otsus dapat dilihat dari segi sejarah.
Namun, bagaimana dengan pendapat para praktisi pemerintahan di Papua tentang inkonsistensi otsus?
Mendalami Inkonsistensi Otsus Papua dari Sudut Pandang Pemerintah
Sebagai pemerintah Papua, bagaimana pandangan mereka terhadap otsus?
Pertanyaan tersebut membuka diskusi terkait inkonsistensi otsus di Papua dari sudut pandang yang berbeda. Sebelumnya sejumlah pihak mengatakan bahwa inkonsistensi otsus adalah implementasinya yang tidak konsisten dengan tujuan pembentukannya.
Namun, ada kemungkinan bahwa terdapat makna lain dari inkonsistensi otsus Papua jika mendengarkan langsung dari praktisi. Frans Pekey, selaku Sekretaris Daerah Kota Jayapura misalnya.
Ia mengatakan terdapat ketidaksesuaian implementasi otsus sesuai dengan UU no 21.
“Menurut saya, ada 22 kewenangan sudah diberikan kepada pemerintah daerah, khususnya provinsi papua dalam kerangka otsus,” jelasnya.
“Betul bahwa dari 22 kewenangan tidak semuanya dilaksanakan, hanya 4 saja. Dari regulasi, di kabupaten dan kota itu menggunakan 2 perundang-undangan, ini cenderung mengalahkan uu 21,” imbuhnya.
Ia menjelaskan terdapat 2 bentuk inkonsistensi otsus dalam pelaksanaannya. Pertama, terdapat pasal yang bermasalah dalam bentuk efektifitas.
Ia mengatakan terdapat pasal yang tidak berhasil namun tetap diterapkan. Di lain sisi, ia menyebut bahkan ada pasal yang tidak dijalankan sama sekali.
Bentuk kedua adalah faktor sejarah. Ia mengatakan bahwa sejak dulu pembentukan otsus sudah ada pro dan kontra.
Kemudian, mari amati pendapat Bupati Jayapura Mathius Awoitauw selaku Bupati Jayapura. Menurutnya, inkonsistensi terletak pada dualisme pelaksanaan pasal, khususnya perlindungan terhadap masyarakat adat.
“Jadi dualisme itu membuat otonomi ini jalan terseok-seok. Saya terus terang mengatakan pemerintah daerah juga lalai. Kita sibuk menyuarakan ini diujung (evaluasi total dan lain-lain),” jelas Mathius.
“Kami tidak merasakan sama sekali (OTSUS) karena yang berlaku di sini itu otonomi daerah. Sementaran masyarakat adat itu yang harus diproteksi ada di bawah. Ini kesulitan,” sambungnya.
Maksud dari dualisme adalah pelaksanaan pasal yang berbeda di tingkat pemerintahan yang berbeda. Mathius memberikan contoh terkait pelaksanaan perdasus untuk masyarakat adat. Menurutnya, pemerintah daerah tidak memiliki aturan hukum terkait itu.
“Kami di Jayapura sudah melakukan perdasus untuk masyarakat adat. Tapi di daerah tidak ada. Otsus itu ada di provinsi, bukan di kabupaten kota. Kita bicara masyarakat adat ini kepastian hukumnya di mana?” papar Mathius.
Terkait perbedaan pendapat tersebut, lantas Majelis Rakyat Papua menawarkan langkah konkrit demi menyelesaikan hal tersebut. Mereka meminta untuk melakukan evaluasi bersama antara Jakarta dan daerah, khususnya Papua dan Papua Barat.
“Di Papua ada 2 UU. ada otsus dan otonomi daerah. Ini berbenturan. Di otsus ada 26 kewenangan khusus untuk pemerintah Papua. Dari 26 hanya ada 4 saja, yakni pembentukan MRP, 1 persen dari 15 kursi, gubernur dan wakil gubernur Papua. Jadi 22 kewenangannya mana?” ungkap Timotius Murib, Ketua MRP.
Sumber:
Public Virtue. 2021. Webinar: Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus.