Randi – Bicara Untuk Rakyat
Menjelang Pilkada serentak pada tahun 2024 nanti, mulai banyak pihak yang menyoroti tentang pentingnya kepala daerah di Papua, untuk mengutamakan atau bahkan seharusnya mewajibkan munculnya Orang Asli Papua (OAP) sebagai kontestan.
Hal ini dikemukakan oleh Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Sisar Matiti dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Pentingnya Kepala Daerah Orang Papua Asli”, pada hari Selasa (28/02/2023).
Pengacara yang akrab dipanggil Anes ini mengatakan bahwa dari statistik, populasi yang terkini di Papua,OAP seakan sudah menjadi minoritas di Tanah Papua.
“Sudah ada beberapa kepala daerah tingkat Bupati/Wali Kota yang non-OAP. Yang mau saya katakan di sini adalah, MRP, DPRPB bisa segera duduk dan berdialog agar bagaimana bisa mengeluarkan produk hukum untuk melindungi hak OAP yang kini seakan sudah menjadi minoritas di tanah Papua. Ini harus menjadi perhatian serius,” ujar Anes.
Diskusi ini kemudian ditimpali oleh Advokat Senior dari Teluk Bintuni, Comas Refra, SH., MH. Menurut Cosmas, selain dibutuhkannya produk hukum, perlu juga kesadaran dari para pihak, agar hak politik dari OAP tidak direduksi.
“Semua pihak bukan Papua harus bisa menghormati dan menghargai hak-hak politik dari OAP dalam mengatur daerahnya. Memang benar belum diatur dalam aturan dan belum ada larangan, tetapi saya berharap basudara pendatang, kita harus bisa menghormati hak politik dari masyarakat asli Papua, biarkan mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati serta Gubernur untuk mengurus daerahnya,” kata Cosmas.
Menurutnya, perlu perjuangan mendorong regulasi terkait kepala daerah adalah OAP, karena menurutnya titik berat implementasi dari UU Otsus berada di tingkat kota dan kabupaten di tanah Papua, sehingga perlu diatur secara jelas tentang perlindungan dari hak politik rakyat Papua.
Diskusi tersebut kemudian berlangsung lebih lanjut dan berkembang, serta mendapatkan tanggapan dari Redaktur Pelaksana Media Bicara Untuk Rakyat (BUR), Fredi Nusa. Menurutnya, keengganan partai politik untuk memahami kondisi sosial dan keingin orang Papua adalah karena kepentingan suara dan elektabilitas partai semata.
“Karena dalam Otsus itu hanya diatur tentang kepala daerah provinsi, maka ini kenapa yang menjadi concern banyak aktivis maupun pemerhati politiik di Papua Raya. Seharusnya MRP mempunyai kewenangan yang besar di sini supaya referensi dan rekomendasi kepada partai, maupun semua stakeholder. Namun nyatanya untuk ini, MRP sedikit dinihilkan. Papua itu tanah yang hidup karena adat, yang paling bisa mengerti tentang hal ini kalau bukan orang Papua mau siapa lagi? ini yang harus ditekan ke atas. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi perpolitikan di Papua, salah satunya demografi. Harus ada tindakan preventif terhadap hal ini. Partai politik itu hanya melihat elektabilitas berdasarkan populasi dan demografi. Kearifan lokal maupun hukum dan adat setempat itu sangat diabaikan,” ungkapnya.
Edwin Wamafma, salah satu direktur program di YLBH Sisar Matiti juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial politik yang sedang menganga di Tanah Papua menjelang Pilkada serentak ini.
“Semoga soal ini tidak menjadi ruang dilema yg panjang, kita Papua adalah mayoritas pemilik tanah dan penghuni “Tanah Negri Papua”, tetapi dlm angka hitungan suara politik, kita adalah kelompok “minoritas” dari basudara/i Nusantara yg juga berdiam bersama kita di negri ini, sehingga tentang hak politik perlu diatur dengan baik agar tidak menjadi konflik musiman yang muncul disetip momen pemilu,” ujar Edwin mengungkapkan kekhawatirannya.
Anes kemudian menutup diskusi tersebut dengan mengatakan perlunya ruang politik bagi OAP, contohnya melalui DPR Provinsi dan DPRK yang diangkat tanpa melalui proses pemilihan.
“Ruang politik di Papua ini memang harus bisa dibedakan. Oleh karenanya kan kita punya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang UU nomor tahun 2021 tentang Otonomi Khusus. Namun UU ini belum terlalu mengakomodir keinginan OAP. DPRK misalnya, yang tidak melalui proses pemilihan pada umumnya, hanya diberikan 5%. Ke depannya, prosentase ini mungkin bisa diperjuangkan agar bisa menyentuh angka 10%. Karena ketika kita bicara keterwakilan dalam politik demokrasi, sulit melahirkan konsensus, jadi ini harus diatur dalam aturan khusus. Tetapi menjadi penting juga bagi kita mengatur tentang Walikota dan Bupati adalah OAP agar kita dapat memahami bagiamana melindungi pihak minoritas yang mana dibutuhkan proteksi melalui konsesus dalam demokrasi politik,” tutup Anes.