Pernyataan Menteri Sosial, Tri Rismaharini yang mengancam akan memindahkan ASN yang lelet ke Papua, saat melakukan Sidak di Balai Wyata, Bandung, pada (13/07), dianggap sebagai sebuah pernyataan yang sangat mendiskreditkan Papua.
Sebagai seorang pejabat negara, masyarakat, khususnya orang Papua sangat keberatan dengan pernyataan yang dilayangkan oleh Mensos ini. Kebanyakan menurut mereka, pernyataan semacam ini merupakan bentuk pengerdilan dan pelanggengan stigma yang selama ini menjadi wajah yang ditampakkan oleh orang pusat terhadap Papua.
Origenes Nauw, Politisi Senior sekaligus Wakil Ketua Bidang Kepartaian Partai Golkar Papua Barat sangat menyayangkan ucapan tersebut keluar dari sosok pejabat negara yang seharusnya khatam dengan wawasan kebangsaan.
“Saya sangat kecewa statement tersebut diucapkan oleh Ibu Risma, beliau sebagai seorang tokoh nasional, apalagi pembantu presiden, beliau harus lebih bijak memberikan pernyataan, apalagi tentang kami orang Papua,” ungkap Origenes.
Origenes mengungkap bahwa Presiden sebagai pemimpin negara harus bisa melihat lagi posisi Risma sebagai seorang menteri yang telah melukai Orang Papua melalui pernyataannya.
“Kami merasa tidak nyaman. Apa yang diucapkan oleh Ibu Risma ini menunjukkan adanya hipokrasi di pusat situ. Ini merupakan bentuk diskriminasi yang terpampang di depan mata, jelas. Kami merasa luka, seharusnya yang dikirim ke Papua sini bukan bandit atau orang-orang yang tidak becus, tapi mereka yang punya prestasi. Itu baru bisa buat kami merasa sebagai bagian dari NKRI. Bukan justru membuat pernyataan seolah tempat kami ini tempatnya orang yang tidak becus. Kalian dari pusat eksploitasi Tanah Papua tapi kami dianggap seperti ini? Kami hidup sekian puluh tahun didiskriminasi di tanah sendiri. Tidak usah kirim ASN ke sini, kami OAP juga mampu jadi pegawai yang bisa bekerja. Risma harus minta maaf,” pungkas Origenes.
Stigma Boven Digoel Masih Terbawa Hingga Kini
Di waktu yang sama, Pilatus Lagowan, PMKRI, Komisaris Daerah Papua Barat juga mengungkapkan protesnya terhadap pernyataan Menteri Sosial. Menurutnya wawasan kebangsaan Ibu Risma harus diuji lagi, jika Tanah Papua di dalam pemikiran beliau hanya menjadi tanah buangan orang-orang yang tidak becus.
“Mungkin saja apa yang dikatakan itu merupakan ungkapan alam bawah sadar. Tetapi dari sini saya menilai bahwa, mindset itu sudah terbentuk di kepala setiap pejabat negara. Papua bagi mereka mungkin hanya hutan belantara yang dihuni manusia-manusia primitif. Tempat hukuman paling kejam. Tempat pembuangan orang-orang malas dan bodoh,” ungkapnya.
Lanjutnya, “dulu zaman kolonial, para tokoh/pejuang nasional yang dianggap berbahaya oleh Belanda, ditangkap lalu dibuang ke Boven Digoel, Papua. Sekarang ibu menteri sosial kita coba menerapkan kembali cara kolonial itu. Saya yakin beliu tidak tahu tentang sejarah pengasingan ke Boven Digoel itu, makanya tanpa beban mengancam ASN yang tidak becus itu. Papua, di mata ibu Risma, tidak lain hanya tempat pengasingan bagi mereka yang tak becus,” pungkas Pilatus.
“Kami Punya Anak-Anak di Papua Lebih Hebat dari ASN Tak Becus”
Drs Wym Fimbay, Mantan Sekda Kabupaten Teluk Bintuni pun tak lupa mengangkat suara atas pernyataan dari Mensos ini. Menurutnya di Papua dan Papua Barat, kompetensi SDM lokal, baik OAP maupun Nusantara tidak memerlukan, asupan ASN dari luar, apalagi yang tidak mumpuni seperti ungkapan Risma.
“Ibu Risma lihat kami di Papua ini seperti apa? Dia seorang menteri lho. Kami ini tidak kalah dengan mereka-mereka di sana. Padahal saya sangat mengidolakan beliau juga, karena beberapa waktu yang lalu saya sempat ke Surabaya dan kagum melihat perkembangan Surabaya yang begitu signifikan. Tapi pernyataan beliau sangat melukai hati kami. Lihat saja Kepala Bappeda Teluk Bintuni yang sekarang, Bapak Alimudin, beliau itu lahir di Biak, dari suku Makassar, kami bangga menyebutnya sebagai orang Papua, dan kemarin beliau juga mendapat penghargaan di Surabaya atas disertasinya. Jangan bilang kami di sini kekurangan orang hebat,” ungkap Wym.
Wym juga mengungkap bahwa ia sebagai Camat Warmare pernah mengalami hal yang sama, pendiskreditan dalam assessment yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
“Saya ini Camat Warmare, misalkan dulu dinilai saya hanya 6, dan mereka camat yang dari pusat itu dapat nilai 9, saya bilang ini setara, karena penilaian itu tidak berdasarkan fakta di lapangan. Kami ini berjalan lewat hutan, untuk masyarakat, mereka apa? Janganlah terus kami dinilai sebagai tempat orang-orang yang tidak becus. Saya sangat tidak terima ini, beliau harus minta maaf” pungkas Wym.
Presiden Justru Harus Memberikan Ruang Kepada OAP Untuk Membangun Papua
Muksin Inai, seorang pemerhati masalah sosial di Teluk Bintuni, Papua Barat sangat menyesalkan pernyataan dari Tri Rismaharini. Menurutnya Ibu Risma tidak melihat perkembangan SDM di Indonesia tidak secara merata.
“Saya melihat terkait dengan kualitas Indonesia barat, itu sama saja. Tupoksi dan kontribusi untuk membangun Indonesia itu sama.
Secara tidak langsung dia (Tri Rismaharini) membuat Papua itu lebih rendah dalam strata pemerintahan. Presiden waktu itu bilang bahwa OAP ini diprioritaskan. Namun pernyataan beliau ini justru membuktikan yang sebaliknya, padahal SDM di Papua itu mampu bersaing dengan Indonesia tengah dan timur. Justru kami ini harus diberikan ruang untuk membangun daerah sendiri, bukan malah kirim ASN yang tidak becus ke sini,” pungkas Muksin.
Pernyataan Bernada Rasisme Tak Patut Diucapkan Oleh Pejabat Negara
Zainudin Patta, SH., Advokat dan Direktur Penanganan Perkara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matiti mengungkapkan bahwa pernyataan Menteri Sosial lebih dipandang sebagai upaya mendiskreditkan Papua sebagai tempat buangan orang-orang yang tidak becus.
Menurutnya, seharusnya sebagai pejabat negara, Tri Rismaharini bisa lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan yang tidak berdasarkan emosi yang meluap-luap saja.
“Undang-undang mengenai penghapusan diskriminasi ras dan etnis harus menjadi tolok ukur agar pejabat publik atau siapapun, tidak mengeluarkan pernyataan yang muatannya mengandung unsur rasisme. Bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Saya berharap agar Ibu Risma meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Papua. Sebab pernyataannya sangat sensitif dan mengandung kesan diskiriminasi tersembunyi,” pungkas Patta.