Nama Andreas Asmorom, SH., Kepala Bidang Perhubungan Darat, Dinas Perhubungan Kabupaten Teluk Bintuni, akhir-akhir ini menjadi sorotan di Papua Barat. Kepala Keluarga besar Kampung Moskona ini didera Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni dengan dugaan tindak pidana korupsi, atas pengadaan Angkutan Pedesaan yang menggunakan Dana Anggaran Khusus Desa, tahun 2021, yang disinyalir merugikan negara.
Menarik kita mengulik kasus ini kembali dengan fakta-fakta hukum serta dasar yang dipergunakan oleh Peguam Negara ini dalam mendera Andreas Asmorom yang terkesan dipaksakan.
Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni menggunakan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 18 sebagai pasal primair dan subsidiair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Mari kita bedah pasal primair dan pasal subsidiair yang dipergunakan Jaksa untuk mendera Andreas. Pada intinya, kedua pasal tersebut berbunyi seperti ini;
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Dari kedua pasal yang dikenakan kepada Andreas, saya melihat, paling tidak ada satu kesalahan FATAL yang dilakukan oleh Jaksa ketika menetapkan dia sebagai seorang tersangka, yang akhirnya ditahan pada hari Kamis (22/06/2023) kemarin.
Jaksa Mengabaikan Unsur Kerugian Negara Dalam Sebuah Tindak Pidana Korupsi
Dalam menentukan sebuah perbuatan adalah cakap untuk memenuhi kriterianya sebagai tindak pidana, perlu ada unsur-unsur untuk memastikan bahwa tindakan tersebut memang bisa dikategorikan sebagai sebuah perbuatan pidana, yang dapat mendatangkan unsur nestapa, baik terhadap subjek yang lain, mapun negara.
Delik atau Strafbare Feit menurut S.R.Sianturi dalam mengutip Moeljanto adalah perbuatan pidana, yang akibatnya harus betul dirasakan oleh masyarakat. Makna perbuatan pidana tersebut harus termaktub dalam unsur formil dan materiel dan atau sifat sifat melawan hukum.
P.A.F. Lamintang dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia berpendapat bahwa setiap tindak atau perbuatan pidana yang terdapat di dalam KUHP, dijabarkan ke dalam unsur-unsur, yang dibagi dalam unsur subjektif dan unsur objektif. Di dalam buku ini juga, P.A.F. Lamintang menerangkan bahwa, jika tidak terbuktinya satu untuk saja dalam delik, maka hakim harus memutus bebas atau Vrijpraak atau di dalam suatu putusan kita kenal dengan ontslag van alle rechtsvervolging.
Melihat kedua pendapat di dalam pengantar hukum pidana kita, atau lebih awam kita bisa bilang sebagai “Ajian” dalam hukum pidana, maka dalam menerapkan sebuah atau dua buah pasal pidana terhadap seseorang, jaksa yang harus selalu mengedepankan asas kehati-hatian, perlu lebih dahulu mempelajari sebuah perbuatan “apakah akan memenuhi unsur-unsur” pada pasal yang dikenakan terhadap subjek yang dijadikan tersangka.
Oleh karena itu, dari pasal yang dikenakan oleh kejaksaan kepada Andreas, ketika menetapkannya sebagi tersangka, dapat di garis-bawahi bahwa unsur KERUGIAN NEGARA adalah syarat mutlak untuk memenuhi delik pidana maupun perbuatan melawan hukum.
Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya harus dihitung dan ditetapkan agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk kepentingan pembuktian di persidangan. Dan satu-satunya lembaga yang berhak menghitung kerugian negara, dengan diterbitkannya SEMA Nomor 4 Tahun 2016 adalah Badan Pemeriksa Keuangan.
Syarat mutlak ini termaktum pula di dalam UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, Pasal 8 ayat (3) yang berbunyi: “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut” dan Pasal 10 yang berbunyi:
- BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara
- Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Hal ini yang kemudian diabaikan oleh kejaksaan. Pada kasus Andreas Asmorom, BPK sebagai instansi yang ditunjuk oleh undang-undang, tidak menemukan adanya kerugian negara, namun secara spesifik, BPK hanya merekomendasikan bahwa Frans Lusianak (pemenang tender) harus membayar denda keterlambatan, sebesar Rp73 juta, yang mana telah dipenuhi olehnya.
Alih-alih mengikuti apa yang telah direkomendasikan oleh BPK, Kejaksaan Teluk Bintuni rupanya lebih memilih untuk menginterpretasikan hukum dengan analoginya sendiri, dengan dasar penghitungan kerugian negara menggunakan hasil dari instansi di luar BPK, yang mana ini sangat bertentangan dengan apa yang diharuskan oleh Undang-Undang.
Dari sejumlah media maupun pemberitaan, Kejaksaan menggunakan penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau yang disingkat BPKP, adalah Lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan.
Dengan dasar ini saja, Kejaksaan telah melanggar aturan hukum serta asas yang berlaku di Indonesia, dengan menciptakan analogi serta interpretasi terhadap undang-undang itu sendiri. Padahal hal ini sangat dihindari di dalam hukum pidana, yang seharusnya berlaku secara letterlijk.
Rubrik ini merupakan rubrik opini. Data dan Riset YLBH Sisar Matiti.