Eskalasi kekerasan di Papua meningkat. Konflik antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) telah memakan korban dari kedua pihak, pun masyarakat sipil.
Penanganan konflik kekerasan di Papua dan Papua Barat diputuskan dengan solusi menambah kekuatan aparat. Diskusi menjadi opsi yang ditiadakan.
Padahal, Papua merupakan sebuah entitas adat yang berdiri kokoh karena musyawarah menjadi laku utama dalam pengambilan sebuah keputusan.
Hal ini dinafikkan. Alih-alih melakukan diskusi agar mengetahui apa sebenarnya yang diinginkan oleh orang Papua, pemerintah mengambil langkah yang ekstrem dengan melakukan pelabelan demi pelabelan.
Langkah pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD yang memantik kemarahan masyarakat, terutama orang Papua, adalah dengan melabeli TPNPB-OPM sebagai organisasi Teroris.
Sekiranya pemberian label teroris itu sendiri harus berpijak pada definisi yang tepat. Tak sekadar narasi yang cocoklogi, namun definisi dari tindakan terorisme itu sendiri menjadi kabur ketika disematkan secara serampangan.
Walter Laqueur dalam bukunya ‘The New Terorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction’ memberikan perbedaan definisi yang tegas, antara tindakan terorisme dan tindakan kekerasan yang lain.
Ancaman dan kekerasan secara umum memang merupakan ciri utama dari terorisme. Tapi tidak semua kekerasan merupakan tindakan terorisme.
Walter menegaskan, kekerasan politik yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan, atau kelompok separatis, tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme.
Pemerintah memang sangat gamang dalam memberikan definisi mereka sendiri untuk melabeli sebuah organisasi sebagai teroris. Ini hal yang kerap dilakukan, sejak pertama kali terorisme didefinisikan terjadi di Perancis.
Sementara itu terorisme yang terdapat pada United States Code, Section 2656f(d) dijabarkan sebagai: premeditated, politically motivated violence perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence an audience (Turk, 2002).
Motivasi ini merupakan motivasi politik yang hanya menyasar masyarakat sipil untuk menebarkan ketakutan. Dari jabaran ini dapat ditarik kesimpulan jika sasaran kekerasan tersebut adalah instalasi militer, maka tidak dapat disebutkan sebagai terorisme.
Dari definisi global tentang apa itu teroris dan terorisme, dibandingkan dengan pola pergerakan dari TPNPB-OPM, maka apakah mereka pantas disebut sebagai teroris?
Dengan adanya pelabelan teroris, maka dikhawatirkan eskalasi kekerasan di Papua bisa meningkat secara signifikan.
Terorisme yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime – kejahatan luar biasa, akan berdampak pada sebuah penyelesaian dengan tindakan represif yang luar biasa pula.
Yang menjadi kerisauan adalah, label tersebut bisa disematkan kepada siapa saja yang dicurigai, yang berujung pada extra judicial killing (eksekusi di luar proses hukum) menjadi hal yang lumrah; atas nama pemberantasan terorisme.
Sedangkan dari pihak TPNPB-OPM sudah mulai bersiap dan menyebar ancaman yang sama. Bahkan dengan jumawa mereka dengan satirnya seakan ingin mempertegas definisi terorisme sendiri dalam tindakan mereka.
Siapa yang akan menjadi korban? Masyarakat sipil akan kembali menjadi korban atas ego dua pihak yang sama-sama ingin menunjukkan kekuatan mereka.
Alangkah baiknya komunikasi kembali dibuka untuk saling mendengar dan memberi masukan atas apa yang dibutuhkan oleh Papua dan orang Papua.
Almarhum Gus Dur dalam pendekatannya kepada permasalahan Papua, bisa mengumpulkan seluruh elemen yang mempunyai kepentingan di Papua serta masyarakat Papua itu sendiri untuk berdiskusi.
Sedangkan pemerintah setelahnya, seakan paham betul apa yang diinginkan orang Papua, tanpa melibatkan orang Papua itu sendiri. Kebijakan demi kebijakan diambil dengan embel-embel “untuk kepentingan Papua”
Orang Papua sendiri, bingung dengan kegamangan pemerintah pusat. Dari zaman Soekarno hingga kini, mereka seakan tak punya suara untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka sendiri.
Mau dibawa kemana Papua jika kedua pihak sama-sama bergeming, dan tak saling membuka diri? Â
Sumber:
Walter Laquer: The New Terrorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002 : 30 – 38: Memahami Terorisme, Suatu Perspektif Kriminologi.