HomeKabar BintuniMaskulinitas, Feminisme, dan Alam: Bagaimana Mempercepat Rusaknya Bumi?

Maskulinitas, Feminisme, dan Alam: Bagaimana Mempercepat Rusaknya Bumi?

World Wide Fund for Nature (WWF), sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang mengurusi masalah konservasi alam, pernah mengunggah artikel tentang Hutan Adalah Ibu. Dalam artikel tersebut, mereka menyebut bahwa sebagian besar masyarakat Asmat, Papua, setuju bahwa hutan memiliki peran penting bagi hidup mereka.

Hutan adalah ibu merupakan ungkapan masyarakat suku Asmat atas penghargaan mereka terhadap alam. Bagi masyarakat Asmat, layaknya menjaga seorang ibu, wajib bagi mereka untuk merawat dan menjaga hutan.

“Kita orang tidak berani melanggar ataupun mengubah, karena sudah banyak bukti. Leluhur selalu mengawasi keberadaan tempat itu dan beri hukuman bagi mereka (masyarakat adat) yang melanggar. Jadi itu harus tetap dan terus dipahami oleh semua orang termasuk generasi penerus,” ungkap Laurensius, seorang warga Asmat, mengutip dari artikel WWF.

Masyarakat Asmat memiliki seperangkat aturan dan adat yang perlu mereka patuhi dalam rangka menjaga hutan. Jika ada yang melanggar, maka mereka wajib membayar derma atau sanksi. Mereka yang tidak membayarnya maka dipercaya akan mendapat musibah.

Menariknya, ungkapan “Ibu” sebagai bentuk penghormatan terhadap  alam punya makna yang sangat dalam.  Khususnya dalam hal konservasi dan sebaliknya, kerusakan hutan. 

Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., Imam Besar Masjid Istiqlal, punya pendapat soal hal ini. Menurutnya, ungkapan “Ibu” punya peran dalam menangkal kerusakan alam.

“Apa jadinya kita jika menjadi khalifah, pewaris bumi ini dari Allah subhanahu wa ta’ala, jika kita terlalu maskulin? Pasti banyak terjadi pembakaran, penggusuran, penimbunan banyak tebang,” jelasnya dalam kanal instagram Greenpeace.

“Ini akan mempercepat proses penghancuran bumi,” sambungnya.

Secara singkat, beliau menjelaskan bahwa feminisme juga melihat aspek kelembutan dalam perilaku manusia. Kelembutan ini dibutuhkan dalam rangka menjaga alam layaknya seorang orang tua mengasihi anaknya.

Lantas, apa itu feminisme? Apa kaitannya dengan alam? Dan, apa itu maskulinitas?

Kebersahajaan Masyarakat Adat: Kelembutan Menjaga “Ibu” dan Feminisme

Maskulinitas tak selalu dipandang baik. Layaknya pedang bermata dua, Ia pun memiliki sisi yang perlu diwaspadai. Jika maskulinitas kerap dianggap sebagai simbol kekuasaan, kekuatan, dan ketahanan hidup, maka ia pun memiliki dampak buruknya.

Sebagaimana disebutkan oleh Dr Nasaruddin, bahwa maskulinitas punya potensi untuk mempercepat kerusakan alam. Pembakaran hutan, penebangan, penggusuran, dan eksploitasi alam adalah contoh maskulinitas yang punya dampak buruk bagi alam.

Inilah sudut pandang feminisme dalam melihat aspek maskulinitas. Bahwa, alam pun perlu diperlakukan lembut. Dan, perkara kelembutan dalam aspek konservasi inilah yang menggambarkan feminisme lingkungan atau ekofeminisme.

Dalam pandangan feminisme, khususnya feminisme lingkungan, perempuan adalah korban dari sebuah sistem. Hal ini menandakan adanya ketimpangan yang menyebabkan eksploitasi terhadap perempuan.

Hutan dalam hal ini dapat diartikan sebagai perempuan yang menjadi korban tersebut. Dominasi manusia dengan perilaku maskulinnya menjadikan hutan hanya sekadar objek alam yang bisa seenaknya dieksploitasi.

Semangat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang biasa dikumandangkan oleh feminisme pun berlaku di sini. Namun, bentuknya mungkin berbeda. Kesetaraan yang dituntut dalam feminisme lingkungan berbentuk perlakuan adil kepada alam.

Itu sebabnya pemaknaan hutan sebagai “Ibu” punya peran yang sangat besar dalam menjaga alam. Tak hanya itu, kebersahajaan adat, khususnya Asmat, telah memposisikan  hutan dalam kesetaraan.

Bencana alam akibat rusaknya alam menunjukkan bahwa strategi pelestarian alam modern tak berjalan maksimal. 

“Cara hidup yang memiliki orientasi terhadap lingkungan hidup berarti hidup yang bersahaja, yang mempertimbangkan secara etis dari konsumsi makanan maupun barang-barang yang peka terhadap lingkungan hidup,” mengutip Saras Dewi, dosen Filsafat Universitas Indonesia dalam laman Magdalene.

 

Sumber:
Greenpeace. 2021. Peran Ulama Kita dalam Menyelamatkan Kelestarian Alam. Greenpeace edisi 27 Agustus 2021.

Magdalene. 2020. Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Magdalene edisi 31 Januari 2020.

WWF. 2017. Belajar dari Kebersahajaan Masyarakat Adat Asmat: Hutan Adalah Ibu. World Wide Fund for Nature (WWF).

 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments