HomeKabar BintuniMakna Otsus dan Kebebasan Berpendapat Papua

Makna Otsus dan Kebebasan Berpendapat Papua

Warga membawa keranda bertuliskan almarhum otsus. Foto: suarapapua

Otonomi khusus masih menjadi isu yang tak kunjung selesai di Tanah Papua. Mulai dari pro kontra hingga desakan evaluasi menyeluruh pada undang-undang otsus Papua. Sudah kurang lebih 20 tahun otsus bercokol di Papua, bagaimana kabarnya saat ini?

Otsus Papua terombang ambing. Antara terus jalan, atau berhenti sama sekali. Bahkan, tak sedikit yang menyebutnya sudah gagal.

September 2020 lalu, isu otsus Papua kembali memanas. Ramai desakan masyarakat Papua terkait revisi undang-undang otsus Papua. Terkait desakan itu, pemerintah sudah menginstruksikan agar undang-undang otsus dievaluasi secara menyeluruh.

Kendati demikian, agaknya instruksi presiden Jokowi kurang diindahkan. Faktanya, pemerintah hanya mengajukan perubahan dua pasal saja, yakni Pasal 34 mengenai dana otsus dan Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.

Terkait isu otsus yang tak kunjung padam, lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang menjadi poin penting dalam otsus Papua?

Otsus Adalah Representasi dari Kondisi Demokrasi Papua

Otonomi khusus bukan soal ekonomi saja. Otsus Papua juga meliputi seluruh aspek kesejahteraan sosial masyarakat. Termasuk di dalamnya demokrasi. Otsus adalah representasi dari kondisi demokrasi masyarakat Papua. 

Tujuan otonomi khusus untuk Papua pada tahun 1999 melalui TAP MPR no 4 adalah untuk mengurai dua masalah utama. Pertama, otsus Papua adalah soal pembangunan dan kesejahteraan. 

Kedua, otsus hadir untuk menyelesaikan kasus HAM Papua di masa lalu. Hal ini diungkapkan oleh Profesor Melkias Hetharia dalam sebuah wacar webinar bertajuk Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus.

“Dalam pemberian otsus itu ada dua hal yang digarisbawahi. Pertama, soal pembangunan dan kesejahteraan dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu,” papar Prof Melkias Hetharia.

Dari seluruh pemimpin Indonesia sejak kemerdekaan, hanya presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, yang memperlihatkan jiwa dari otsus tersebut. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur adalah satu-satunya pemimpin yang berani melakukan dialog langsung, tanpa orang ketiga, dengan masyarakat Papua.

Tak hanya dari satu komunitas saja, namun berbagai komunitas. Anita Wahid dari Public Virtue Institute menyebut A=aspirasi dari komunitas Papua yang beragam ini lah yang menjadi jiwa dari otsus Papua.

“Gus Dur sangat berbeda saat berdialog dengan masyarakat Papua. Perbedaannya, Gus Dur langsung berdialog, bukan lewat pihak ketiga. Gus Dur berbicara ke berbagai kelompok. Semuanya wajib didengar,” ungkap Anita.

“Otsus adalah buah konsensus dari kelompok itu. Implementasi 20 tahun otsus jauh dari jiwa pembuatan otsus itu. Terutama perlindungan seperti politik, ekonomi, hak adat. Ini semua direduksi jadi masalah ekonomi saja,” sambungnya.

Lantas, bagaimana kondisinya sekarang? 

Otsus Papua: Masyarakat Papua Kehilangan Kehormatan

Ada banyak kondisi yang dapat menjelaskan kondisi Papua saat ini terkait otsus. Hal ini disampaikan oleh para pembicara dalam webinar Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus, Minggu, 4 Juli 2021.

Timotius Murib dari Majelis Rakyat Papua misalnya. Ia mengatakan bahwa kondisi demokrasi Papua dari Zaman Orde lama hingga saat ini sama saja.

“Pandangan MRP terkait dengan situasi demokrasi di tanah Papua, yaitu di era Orde Lama, kemudian Orde Baru, era Reformasi, bahkan sampai era otonomi khusus ini kami kira ya sama saja,” kata Timotius dalam diskusi virtual, Ahad, 4 Juli 2021.

“Kenapa demikian? Karena otonomi khusus diberikan oleh negara sebagai solusi untuk demokrasi bisa diselenggarakan dengan baik di Papua. Namun, di otonomi khusus 20 tahun ini, dari presiden ke presiden belum menyentuh kekerasan, terutama pelanggaran HAM,” sambungnya.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, pun punya pendapat yang senada. Menurutnya, demokrasi Papua bukan hanya sama saja, melainkan mengalami kemunduran. 

“Jakarta tidak konsisten dalam menjalankan otsus sehingga banyak yang menolak otsus di Papua. Semangat otsus dicederai oleh pemerintah. Resentralisasi Jakarta atas kekuasaan di Papua. Ini menambah ketegangan antara Papua dan Jakarta,” ungkapnya.

Hal ini mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019 yang menyebut Papua dan Papua Barat adalah provinsi dengan kualitas demokrasi terburuk di Indonesia. Selain itu, masyarakat Papua pun dinilai lekat dengan label negatif.

Suara mereka terbungkam, bahkan ketika hendak menjaring aspirasi rakyat, mereka sudah dituduh sebagai separatis. Mereka dicecar dengan untaian kata negatif bernada kekerasan verbal seperti monyet, kera, gorila, bahkan Kete. 

Hal ini yang melandasi argumentasi bahwa demokrasi Papua telah mengalami kemunduran. Tak hanya itu, kehormatan mereka pun terenggut. Lantas, ke mana jiwa otsus itu?

Sumber:
Public Virtue Institute. 2021. Webinar Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus, Minggu, 4 Juli 2021.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments