HomeKabar BintuniLumbung Pangan dinilai Penyebab Bencana Lingkungan Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Lumbung Pangan dinilai Penyebab Bencana Lingkungan Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Ilustrasi Peraturan Menteri Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020. Foto: pixabay

Dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Jenny Goldstein, kebijakan food estate atau proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah merupakan penyebab bencana alam terbesar dalam rekam jejak Indonesia.

Proyek Mega Rice Project sepanjang tahun 1995-1999 mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besa dan bahkan tidak menghasilkan beras. Begitu juga proyek pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) setelahnya.

Sebesar 50 persen lahan pertanian yang direncanakan MIFEE merupakan wilayah hutan yang sebagian besar terdiri dari hutan primer dan sekunder. Ini berdampak pada proyeksi total emisi karbon yang terlepas. Dari proyek tersebut diperkirakan mencapai 770 juta ton per tahun yang 70 persennya berasal dari konversi area hutan.

Hal ini kemudian mengerucut pada narasi food estate yang akan dikembangkan di era pemerintahan Jokowi. Pemerintah merencanakan program food estate di Papua dengan total luas sekitar 2.684.680,68 hektare. Jumlah tersebut dibagi ke dalam beberapa wilayah, yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi.

Kekhawatiran masyarakat Papua akan program tersebut bukanlah tanpa alasan. Dari total luas proyek food estate tersebut, 2.684.461,54 hektare diantaranya merupakan kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Artinya, proyek tersebut akan membabat sekitar 2 juta hektare kawasa hutan Papua.

Di mata hukum, program ini tak luptut dari persoalan. Dalam pasal 63 UU Otsus Papua, pembangunan dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Merujuk pada pasal Pasal 3 huruf d sampai g Perdasus Nomor 21 Tahun 2008, pengelolaan hutan berkelanjutan harus mencakup: d. mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan; e. menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi; f. mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati; dan g. mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan iklim global.

Ini bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate pada tahun 2020.

Walhi: P.24 Menunjukkan Wajah Jahat Food Estate

Kontroversi kebijakan P.24 menuai kontroversi. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI menyebutkan peraturan ini tidak sejalan dengan konsep food estate yang sebenarnya. Menurut Nur Hidayati, food estate tak harus berkolaborasi dengan negara dan investor.

“Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program Food Estate. Pada prinsipnya, Food Estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, Food Estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” jelas Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI.

Ia mengungkapkan setidaknya ada 3 alasan mengapa proyek food estate ini justru akan menambah masalah. Pertama, justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup. Berkaca dalam program-program sebelumnya, proyek food estate terbukti menjadi ajak buka hutan besar-besaran yang berdampak pada kerusakan lingkungan

Kedua, potensi konflik dengan masyarakat adat. P.24 tidak secara spesifik melibatkan pengelolaan rakyat sehingga justru memperpanjang ancaman potensi konflik. Jika benar mengusung konsep food estate, maka negara wajin mengembalikan urusan pangan pada petani atau masyarakat adat. 

Ketiga, menambah ancaman kerugian negara. Proyek-proyek food estate, justru menimbulkan banyak kerugian negara. Misalnya, proyek PLG yang menggunakan APBN hingga 1,6 triliun dan gagal total. 

Selain dampak lingkungan, food estate juga berpengaruh pada pergeseran perilaku masyarakat sekitarnya, khususnya masyarakat adat. Sejumlah penelitian memberikan bukti bahwa pergeseran pola pangan yang terjadi atas pemerataan beras di seluruh nusantara berpengaruh tidak hanya pada kesehatan, namun juga perubahan budaya dan bahasa.

Horta, Sekertaris DAP wilayah Mbomberay III, menuturkan setidaknya ada 2 contoh pergeseran budaya dan bahasa akibat jalan pangan yang berubah. Dahulu, sebelum masuknya nasi ke Papua Barat, masyarakat menjadikan ubi dan sagu menjadi makanan pokok.

“Dulu bapak ibu kita makan ubi dan sagu. Sekarang anak-anak kita maunya makan nasi,” jelas Horta.

“Bahasa juga terpengaruh (kehadiran nasi). Orang yang tanam nasi itu kan transmigran, mau tidak mau kita harus tinggalkan bahasa sehari-hari untuk berbicara dengan mereka,” imbuhnya.

Akankah sejarah berulang?

 

Sumber:

Jenny Goldstein, “Carbon Bomb: Indonesia’s Failed Mega Rice Project.” Environment & Society Portal, Arcadia (Spring 2016), no. 6. Rachel Carson Center for Environment and Society

Siaran Pers WALHI. 2020. Stop Food Estate di Kawasan Hutan; Batalkan Peraturan Menteri LHK P.24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Walhi 15 November 2020.

Wicaksono, Raden Ariyo. 2021. Food Estate Bikin Ruang Hidup Orang Asli Papua Terampas. Betahita, 29 Juni 2021

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments