
Oleh: Yohanes Akwan.
Pemerintah Pusat harus mengubah cara pandang dalam melihat konflik Papua.
Sikap Menteri Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD yang juga sebagai dewan pembina Partai Solidaritas Indonesia tidak harus berlebihan dalam memberikan masukan kepada presiden dalam menyikapi dinamika sosial dan politik yang terjadi akhir-akhir ini di Papua.
Mestinya, sebagai pembantu presiden, ia mampu memberikan masukan kepada pemerintah untuk tetap fokus pada penyelesaian berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum tuntas.
Ia juga harus mampu mendorong percepatan pembangunan Papua, penetapan berbagai peraturan pemerintah untuk mempercepat sejumlah peraturan daerah khusus sebagai penjabaran dari UU 21 Tahun 2001 untuk segera disahkan.
Sebagai pembantu presiden yang berada pada posisi strategis, mestinya Mahfud MD mampu mendorong pemerintah untuk konsisten terhadap penanganan berbagai persoalan Papua.
Mulai dari penanganan keamanan, konflik sosial politik, korupsi, pembangunan manusia Papua, pemberdayaan orang asli Papua serta penyelesaian pelanggaran HAM di Papua yang tak kunjung usai.
Mahfud MD pasti paham dalam menangani berbagai persoalan di Papua, bukan sekadar implementasi kebijakan semata terhadap pembangunan di Papua. Namun yang terlebih penting adalah bagaimana tidak terjadi diskriminasi berlebihan terhadap rakyat Papua.
Dampak dari adanya masukan pembantu presiden yang serampangan itu membuat sebagian anak bangsa di Papua terluka.
Kebijakan serta pernyataan beliau perihal apa yang sedang terjadi di Papua, justru tidak membawa perubahan yang berarti, namun sebaliknya.
Komunikasi yang seharusnya dikedepankan, tidak dilakukan. Namun membuat keputusan, seolah apa yang dibutuhkan oleh Papua, sudah sangat dipahami. Padahal tidak.
Persoalan di Papua dan Papua Barat itu sangat kompleks. Butuh sebuah komunikasi yang terbuka, seperti yang dilakukan oleh Alm. Gus Dur, dulu kala.
Ingin meng-Indonesiakan Papua? Bagaimana bisa jika komunikasi tidak pernah dibangun? Sedangkan masyarakat dan adat di Papua itu berfondasi komunikasi.
Penyelesaian Papua tidak bisa diselesaikan dengan senjata. Persoalan Papua harus diselesaikan dengan musyawarah mufakat, sebagaimana pengamalan dari penerapan sila ke 4 dan UUD 1945, serta imlementasi dari UU 21 tahun 2001 yang tidak bisa di maknai secara sempit.
Sebagai menteri pembantu presiden, mestinya mengusulkan kebijakan yang relevan dan dapat diterima seluruh rakyat Papua melalui jalan dialog, masa Aceh bisa kok Papua tidak bisa?
Suara Aspirasi Papua merdeka harus dijawab dengan dialog. Sesama anak bangsa duduk di atas para-para adat. Bicara sejajar sesama anak bangsa.
Bagaimana solusi jalan tengah memecahkan konflik yang melumpuhkan itu.
Konflik di Papua disebabkan dominasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok orang dengan mengabaikan apa yang menjadi hak dari rakyat Papua.
Selama pemerintah pusat tidak duduk bersama dan mendengarkan apa yang dibutuhkan, maka permasalahan di Papua tidak akan bisa berakhir. Kesampingkan ego bahwa apa yang diberikan oleh Jakarta, adalah apa yang dibutuhkan oleh Papua. Ini pemikiran yang naif, dan menafikkan kami, orang Papua itu sendiri.