Pemerintah Papua Barat berhasil mencabut sekitar 12 izin konsesi lahan sawit di Papua Barat. Hal ini merupakan tindak lanjut dari pengkajian ulang izin 30 perusahaan kelapa sawit oleh Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun poin yang dievaluasi pemerintah dan KPK mencakup izin lokasi, IUP, hak guna usaha (HGU), izin pemanfaatan kayu (IPK), maupun surat keputusan pelepasan kawasan hutan, hingga putusan pengadilan.
Hingga 7 Juni lalu, wilayah yang berhasil dicabut izinnya mencapai luas 267.856,86 hektare. Sedangkan sisa lahan lainnya sebesar 43.689,93 hektare masih dalam proses pencabutan.
Wilayah yang melakukan pencabutan izin perusahaan sawit antara lain Sorong Selatan, Sorong, Teluk Bintuni, Teluk Wondama dan Fakfak.
Bupati Kabupaten Sorong, Johny Kamuru, mencabut 4 izin perusahaan sawit, antara lain PT. Sorong Agro Sawitindo, PT. Inti Kebun Lestari, PT. Papua Lestari Abadi, dan PT. Papua Cipta Plantation. Begitu pula Sorong Selatan yang mencabut 4 izin perusahaan yaitu T. Anugerah Sakti Internusa, PT. Internusa Jaya Sejahtera, PT. Persada Utama Agromulia, dan PT. Varia Mitra Andalan.
Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw, mencabut 2 izin perusahaan. Satu diantaranya adalah PT. Bintuni Sawit Makmur. Perusahaan ini tadinya memiliki izin lokasi seluas 11.776 hektare. Kemudian untuk Teluk Wondama, Bupati Eduard Nunaki mencabut izin PT. Menara Wasior dengan luas izin lokasi 28.880.
Yacob Fonataba, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat, menyebut pencabutan izin perusahaan tersebut juga terkait temuan pelanggaran. Mulai dari syarat administrasi, pelanggaran izin usaha perkebunan (IUP), dan tidak adanya hak guna usaha (HGU).
“Kami tidak alergi dengan perusahaan sawit, hanya ingin perusahaan itu taat dengan aturan berlaku,” ungkap Yacob, mengutip mongabay.
Lahan yang Dibebaskan Akan Dikembalikan ke Masyarakat Adat
Yacob menyebut lahan hasil pencabutan izin kelapa sawit tersebut akan dikembalikan kepada negara dan pengelolaannya diberikan kepada masyarakat adat. Ia menyebut bahwa pemanfaatan lahan tersebut dapat berbentuk perhutanan sosial, hutan adat hingga pengakuan tanah ulayat komunal.
“Kalau bicara soal ketahanan pangan dalam rangka COVID-19, kami bisa buat lumbung pangan dengan pola kearifan lokal masyarakat adat. Jadi, kalau mereka bilang mau dipakai untuk usahakan satu komoditas, akan kami sesuaikan dengan potensi dan kesesuaian lahan di sana,” kata Yacob.
Sem Ulimpa dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi di Papua Barat mengapresiasi hal tersebut. Menurutnya, tak hanya kelapa sawit saja yang perlu dicabut. Melainkan perusahaan lainnya seperti industri dan tambang.
“Harapannya bukan hanya di sawit juga perusahaan-perusahaan lain seperti tambang dan industri lain,” ungkapnya.
“Kembalikan kepada masyarakat adat. Cari model pembangunan yang masyarakat mampu untuk kelola,” sambungnya.
Kendati demikian, Sem Ulimpa khawatir bahwa lahan tersebut dicabut hanya untuk dipindahkan kepada penguasa lainnya. Oleh karenanya, ia berharap pemerintah tak hanya mencabut izin, namun juga fokus pada pemeliharaan dan pengelolaan hutan yang sudah ada.
“Cukup. Proteksi yang ada. Manajemen seperti apa, selama ini sudah memberi kesejahteraan kepada masyarakat atau belum, sudah memberikan pendapatan kepada pemerintah secara baik sesuai aturan atau belum, Soal lingkungan, seperti apa, limbah seperti apa,” jelasnya.
Sumber:
Elisabeth, Asrida, dan Richaldo Hariandja. 2021. Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut. Mongabay edisi 7 Juni 2021.