HomeKabar BintuniHutan Perempuan Adat Enggros Riwayatmu Kini

Hutan Perempuan Adat Enggros Riwayatmu Kini

Ilustrasi hutan adat mangrove Enggros. Foto: pixabay

“Ibarat surga kecil, tapi sudah berubah, dirusak tangan manusia. Salah satunya hutan perempuan, dirusaki pembangunan,” ungkap Orgenes Meraudje, tokoh masyarakat di Kampung Enggros mengutip BBC.

Sebutan hutan perempuan sebagai surga kecil bukanlah hal sembarangan. Jika menelusuri bagaimana kepercayaan masyarakat Tobat-Enggros, ekosistem alam termasuk di dalamnya hutan perempuan memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan mereka. 

Menurut salah seorang peneliti di Papua, Ridwan, Kampung Enggros tercipta olwh anak matahari tersebut bermukim di san. Kemudian, ia menciptakan teluk yang indah dan kaya akan hasil alam. Dari sana terbentuk kampung di sebelah Kampung Tabati yang disebut sebagai Kampung Enggros.

Kepercayaan ini yang melatarbelakangi kearifan lokal yang unik sehingga menjadi salah satu daya tarik wisata selain keindahan alamnya. Kendati demikian, objek wisata tak melulu memberikan dampak positif. Selain limbah sampah yang meningkat, pembangunan infrastruktur sekitar mempengaruhi lingkungan hidup masyarakat Enggros.

Kampung Enggros terletak di tengah lautan, ini seolah terapung di atas wilayah perairan teluk Youtefa. Kampung Enggros termasuk dalam wilayah administratif Distrik Abepura kota Jayapura dengan luas 33,37 ha. Kampung Enggros berbatasan dengan Kampung Tobati di bagian utara; sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Abepantai; sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Waim Horock; dan sebelah timur berbatasan dengan Kampung Holtekamp.

Lokasi Kampung Enggros yang dekat dengan Jembatan Merah Youtefa misalnya, menjadi salah satu contoh dampak pembangunan terhadap lingkungan masyarakat Enggros. Khususnya hutan adat perempuan. Petronela Merauje, seorang warga Enggros menyebutkan Jembatan Merah dan arena lomba dayung Pekan Olahraga Nasional membuat hutan mangrove di Teluk Youtefa semakin terkikis.

“Tidak sadar bahwa adat kami sedang dikikis juga. Apalah daya kami, masyarakat hanya bisa diam dan menangis melihat keadaan yang terjadi. Bagaimana 20 tahun yang akan datang, nasib anak-anak kami di kampung?” katanya, mengutip teras.id.

Ia melanjutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Youtefa selamat 40 tahun terakhir terus berkurang. Bahkan boleh dibilang, hutan mangrove di Teluk Youtefa telah berkurang 50 persen. Hingga tahun 2018, hutan mangrove Jayapura hanya tersisa 233,12 hektare. Sekitar 281,12 hektar hutan mangrove di Teluk Youtefa sudah beralih fungsi. Misalnya, dalam dua tahun terakhir hutan mangrove dipangkas untuk keperluan pembukaan akses jalan dari wilayah Hamadi ke daerah Holtekamp melalui jembatan Youtefa.

Berdasarkan penelitian Baigo Hamuna, dosen Universitas Cenderawasih, wilayah pesisir daerah Skouw di Distrik Muara Tami rentan. Begitu juga beberapa wilayah lainnya.

”Dari hasil penelitian rekan dosen kami, Baigo Hamuna, terdapat sejumlah lokasi di Kota Jayapura yang rentan abrasi karena pembukaan kawasan mangrove, yakni Hamadi, Pantai Base G, Holtekamp, hingga pesisir daerah Skouw di Distrik Muara Tami,” tutur John.

Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tengah melakukan investigasi terkait wilayah yang rusak akibat proyek pembangunan. Menurut Frits Ramandey, Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, terdapat 16 titik pembukaan hutan mangrove dan 12 pembukaan lahan di hutan sagu.

Artinya, terdapat 28 titik kerusakan di Teluk Youtefa yang dapat berakibat fatal. Ia menyebut bahwa dari jumlah tersebut, tidak menutup kemungkinan ada wilayah yang belum terdeteksi.

”Kami menemukan 28 titik kerusakan ini di kawasan Teluk Youtefa dari daerah Hamadi hingga Holtekamp. Kemungkinan lokasi kerusakan yang belum ditemukan masih banyak karena kami belum menyusuri semua area Teluk Youtefa,” ujarnya.

Surga Kecil Enggros yang Terusik

Jika 50 persen luas hutan mangrove selama 40 tahun terakhir terkikis, bagaimana nasib hutan adata masyarakat Enggros? utan perempuan adalah tempat mencari penghidupan masyarakat Enggros, sekaligus hutan ini merupakan tempat berlindung para perempuan Enggros. Pasalnya, hutan ini tidak boleh dimasuki oleh laki-laki. Perempuan dapat berkumpul, berbagi cerita dan kisah tentang kehidupan mereka. Mulai dari masalah rumah tangga hingga hal lainnya.

Mengutip BBC Indonesia tahun 2021 luas hutan perempuan di Enggros tersisa 5 hektare saja. Salah satu proyek pembangunan yang mengikis hutan adat itu adalah proyek pembangunan venue dayung untuk Pekan Olahraga Nasional. Hal ini disampaikan oleh Orgenes, seorang tokoh masyarakat Enggros.

“Itu venue dayung tempat berkumpulnya ikan, mereka tangkap di situ. Tapi sudah ditimbun, ya sudah, tapi ikan-ikan ini ke mana? Jadi tempat penangkapan ikan masyarakat semakin ke sini semakin kecil,” tanyanya.

Tak hanya venue PON, Jembatan Merah Youtefa juga menjadi salah satu yang mengganggu ekosistem alam masyarakat Enggros. Menurut Orgenes, keberadaan lampu dan kendaraan yang berlalu-lalang menyebabkan ikan pergi dari wilayah itu. 

“Karena ada jembatan dan berbagai lampu, ikan tidak bisa masuk ke sini. Ini ancaman-ancaman bagi masyarakat yang kita lihat selama ini,” sambungnya.

Direktur eksekutif Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, punya pendapat terkait dampak pembangunan yang terjadi di sekitar permukiman masyarakat Tobati-Enggros ini. Secara singkat, Aiesh Rumbekwan menyebut efek dari kerusakan ekosistem Teluk Youtefa telah menyebabkan “degradasi nilai budaya” bagi Hutan Perempuan yang telah menjadi “esensi kehidupan” warga yang tinggal di sana.

“Bagaimana mereka mau menurunkan ini ke generasi berikutnya kalau mereka sendiri kehilangan ruang untuk transformasi itu. Akan sulit nantinya. Pembangunan ini yang melemahkan mereka dalam posisi itu,” tegas Aiesh mengutip BBC Indonesia.

“Jaminan itu juga melebar pada kondisi lingkungan setempat. Karena ketika mereka masuk dalam kondisi laut sudah tercemar, apakah tidak membahayakan tubuh mereka sebagai perempuan yang punya organ sensitif yang kemudian bisa berdampak buruk,” sambungnya.

 

Sumber:
Amindoni, Ayomi. 2021. Hari Air Sedunia: Hutan Perempuan di Papua, ‘surga kecil yang dirusak manusia’. BBC Indonesia edisi 22 Maret 2021.

Costa, Fabio Maria Lopes. 2021. Pembukaan Hutan Mangrove di Jayapura Capai Ratusan Hektar. Kompas edisi 12 Februari 2021.

Jubi. 2022. Mangrove di Teluk Youtefa Berkurang, Hutan Perempuan Adat Enggros Hilang. Jubi edisi 19 Februari 2022.

Prayogo, Cahyo. 2020. Save Our Sea: Melestarikan Mangrove, Mencegah Abrasi Pantai. Wartaekonomi edisi 26 Februari 2020

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments