Hormatilah dalam pada itu segala adat istiadat yang kuat dan sehat, yang terdapat di daerah-daerah dan yang tidak mengganggu atau menghambat Persatuan Negara dan Bangsa Indonesia.
-Ki Hadjar Dewantara
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, pernah mengatakan kaitan erat antara persatuan negara dengan masyarakat adat. Hal ini menegaskan pentingnya posisi masyarakat adat terkait perkembangan dan persatuan negara.
Tanggal 9 Agustus merupakan hari masyarakat adat Internasional di mana dunia hendak memperingati Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples).
Lantas, bagaimana kondisi masyarakat adat di Indonesia?
Kenyataannya, definisi masyarakat adat di Indonesia dapat dikatakan belum berkembang. Mengutip Arif Ahmad dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan, masyarakat adat punya beberapa jenis definisi berbeda.
Dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, masyarakat adat didefinisikan sebagai kesatuan kelompok yang hidup terikat oleh keadaan geografis, budaya, dan ekonomi. Mereka terpencil, miskin dan rentan sosial ekonomi.
Selanjutnya, Kemensos menyebut masyarakat kerap disebut sebagai Komunitas Adat Terpencil dengan kriteria tertutup, homogen, dan terbatas dalam layanan sosial.
Pernyataan ini juga mengacu pada rujukan geografis di mana masyarakat adat biasa ditemukan di daerah terpencil atau perbatasan seperti pulau terluar, pesisir, atau pedalaman hutan. Definisi tersebut sejatinya tak sesuai dengan apa yang diucapkan oleh bapak pendidikan Indonesia.
Pasalnya, definisi tersebut disebut oleh Ahmad dalam bukunya sebagai bentuk pengkerdilan terhadap masyarakat adat. Berbeda dengan definisi masyarakat adat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yakni komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat.
Mereka memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Suku Moi dan Penghormatan Adat Ki Hadjar Dewantara
Masyarakat adat suku Moi di Papua adalah salah satu yang masih menjaga kebiasaan mereka dalam menjaga alam. Bahkan hingga masa pandemi saat ini, mereka tetap eksis menjaga adat istiadat yang mereka miliki.
Mengutip forum EcoNusa Outlook 2021 yang diselenggarakan secara daring, suku Moi memiliki pandangan filosofis terhadap hutan sebagai ibu kandung atau tam sinih dalam bahasa lokal.
Terdapat 6 hak dasar kepemilikan tanah yang dianut oleh suku Moi yakni diperoleh secara turun menurun (eges pumun), pertukaran tempat tinggal (eges sumala), pengaruh susu (eges supey) perkawinan ke dalam (eges sukaban), perlindungan (eges woti), dan dasar peristiwa (eges su paligin kambetem).
Suku Moi telah berjuang mempertahankan adat istiadat mereka, bahkan sejak zaman Portugis pada tahun 1511.
”Sebelum Indonesia merdeka, suku Moi sudah mengalami ancaman bahkan sejak era Portugis pada 1511. Pada 2000-an masuk kelapa sawit dan terakhir pembangunan pemerintah berupa pemekaran. Semua proyek tersebut mengambil hutan kayu dan penguasaan lahan masyarakat adat,” ujar Ketua Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta, Terianus Kalami.
Kemudian, selama 82 tahun sejak proyek Netherland New Guinea Petroleum Maskapai pada 1932 hingga 2017, suku Moi mengaku baru mendapatkan pengakuan baru-baru ini.
Pengakuan tersebut merujuk pada peraturan bupati dan peraturan daerah. Termasuk Perbup Sorong tentang Petunjuk Teknis Pemetaan Tanah Adat Suku Moi tahun 2020
Dengan demikian, penghormatan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara terhadap adat dapat diwujudkan melalui pengakuan terhadap keberadaan mereka. Selanjutnya, Delly Ferdian, peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, setidaknya ada 2 hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
Pertama, mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat. RUU tersebut berperan dalam kemerdekaan masyarakat adat atas tanah dan wilayahnya. Kedua, membangun perekonomian berbasis kearifan lokal.
Masyarakat adat sangat lekat dengan kearifan lokal, terutama dalam cara mengelola hasil alam secara berkelanjutan. Hal ini tak hanya mampu menjawab tantangan krisis pangan, namun juga krisis iklim yang saat ini mencekam dunia.
Sumber:
Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG
Badan Ketahanan Pangan. 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia 2019. Badan Ketahanan Pangan Indonesia
Ferdian, Delly. 2021. Membangun Indonesia Dari Pinggiran Itu, Dimulai Dari Masyarakat Adat. Mongabay edisi 9 Agustus 2021.
Firmansyah, Nurul. 2019. Pulihkan Hak Masyarakat Adat. Mongabay edisi 3 Oktober 2019.
Pandu, Pradipta. 2021. Masyarakat Adat di Papua Terus Berupaya Menjaga Sumber Daya Alam. Kompas edisi 18 Februari 2021.