HomeKabar BintuniBelajar dari Pulau Takuu Tentang Pemanasan Global

Belajar dari Pulau Takuu Tentang Pemanasan Global

Ilustrasi pemanasan global. sumber: pixabay

Pada tahun 2010, seorang produser asal Selandia Baru, membesut film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Takuu, Papua Nugini. Kehidupan mereka tidak biasa. Pasalnya, mereka harus berjibaku dengan air laut yang biasa menjadi tempat untuk mencari makan.

Masyarakat Takuu, Papua Nugini hidup di atas sebuah kepulauan berbentuk cincin yang terbentuk dari karang laut. Masyarakat Takuu menjadikan laut sebagai satu-satunya sumber kehidupan mereka. Namun saat air pasang, semua itu berubah. Air laut membanjiri permukiman. Bahkan menenggelamkan.

Film yang berjudul There Once was an Island: Te Henua e Nnoho itu mencoba mengungkap kengerian dari dampak pemanasan global. Bayangkan, terdapat komunitas masyarakat yang kesehariannya dihantui oleh rasa takut akan air laut yang meluap.

Kasus tenggelamnya pulau Takuu sudah lama diteliti. Dr Thomas Mann, seorang geologist, misalnya. Ia menyebut bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi kehidupan di Takuu.  

“Pulau karang itu sendiri tampaknya stabil secara tektonik atau sangat sedikit naik. Artinya, permukaan laut lokal di sekitar atol akan tenggelam – tetapi tentu saja ada kenaikan permukaan laut terkait iklim yang cukup kuat di bagian Pasifik,” ungkap Dr Thomas, megutip ABCnet.

Maksudnya, pulau yang menjadi permukiman masyarakat Takuu cukup stabil. Artinya, bukan pulaunya yang tenggelam, melainkan debit air laut yang bertambah. Hal ini yang membuat Dr Thomas menyimpulkan bahwa perubahan iklim menyebabkan kenaikan air laut. Dengan demikian, pulau Takuu Atoll akan hilang suatu saat.

Kehidupan Masyarakat Takuu: Masyarakat yang Tersapu

Masyarakat Takuu sudah menghuni pulau itu lebih dari 1000 tahun. Namun memasuki tahun 2000-an, kehidupan mereka semakin terpuruk. Banyak pulau yang kini sudah tenggelam. Bahkan pada tahun 2010, penduduk mereka hanya tersisa 150 orang. 

Mereka terisolasi dari dunia luar. Hidup tanpa adanya listrik, pasar, dan minimnya transportasi. Namun atas keterisolasiaon tersebut, budaya mereka termasuk ke dalam budaya yang asri sejak 1000 tahun lalu. Salah satu yang tercatat oleh sejarah adalah seni tari dan lagu yang diciptakan oleh masyarakat Takuu. 

Masyarakat Takuu gemar menyanyi dan menciptakan lagu. Dalam penelitiannya, Richard Moyle, mencatat lirik yang dibuat oleh masyarakat Takuu.

Se vaka ni ä? Apa yang ia lakukan?

Se vaka ni aro mai ki taku henua. Ia mendayung hingga pulauku.

Uäië, se vaka ni ä? Apa yang ia lakukan? 

Se vaka ni aro mai ki Nukurekia. Ia mendayung hingga Nukurekia.

Nimo ake, takai ake, ia datang dari sana dan berjalan kemari; 

e noho ka tohitohia ko taku henua nei. Aku tinggal di pulauku yang tenggelam.

 

Richard Molye seorang peneliti etnografi musik menjelaskan bahwa lagu tersebut menggambarkan kesedihan masyarakat Takuu terhadap gempuran naiknya air laut ke dalam tempat tinggal mereka. 

Te Henua e Noho adalah bahasa lokal masyarakat Takuu yang bermakna: dulu pernah ada pulau di sana.

Pemanasan Global, Iklim, dan Papua

Kisah masyarakat Takuu seharusnya menjadi tamparan keras bagi masyarakat dunia bahwa pemanasan global bukanlah mitos. Salah satu dampaknya bagi masyarakat Papua akhir-akhir ini adalah mencairnya salju abadi Puncak Cartenz, Papua.

Cartezn adalah puncak tertinggi di Indonesia dan masuk ke dalam salah satu dari 7 puncak tertinggi dunia. Namun peneliti memprediksi bahwa salju yang ada di Puncak Cartenz tak akan bertahan hingga 2025. 

Mencairnya salju di Puncak Cartenz punya makna lainnya. Salah satunya, fenomena tersebut dapat berdampak buruk pada lingkungan. Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, KLHK, menyebut dampaknya bisa banyak. Antara lain naiknya permukaan air laut, sistem hidro meteorologi berubah, hingga curah hujan dan gelombang.

Secara umum, mencairnya es di Puncak Cartenz menandakan datangnya cuaca ekstrem. Bahkan, hal ini mampu memengaruhi ekosistem air tawar setempat. Namun, tak seluruhnya kabar buruk.

Es yang hilang pada Puncak Jaya membuka peluang habitat baru bagi sejumlah spesies. Terlepas dari hal itu, Tantri menyebut perlu ada upaya mitigasi dan pencegahan lebih lanjut. Pasalnya, fenomena tersebut masih memberikan dampak buruk bagi sekitar.

 

Sumber:

Mantesso, Sean. 2016. Unique culture of Takuu Atoll at risk from climate change, migration. ABCnet edisi 24 September 2016

Paino, Christopel. 2020. The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua. Mongabay edisi 17 Juni 2020

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments