HomeKabar BintuniBagaimana Kerusakan Alam Bisa Picu Wabah Malaria?

Bagaimana Kerusakan Alam Bisa Picu Wabah Malaria?

Ilustrasi nyamuk malaria. Foto: pixabay

Pandemi virus corona seakan membuka mata seluruh warga dunia akan pentingnya kesehatan. Sudah sekitar 2 tahun terakhir virus corona bercokol di dunia dan faktanya virus itu belum pergi juga. 

Belum selesai soal virus corona yang terus bermutasi, dunia sudah harus waspada akan kembalinya virus purba kala. Mengutip dari situs science alert, telah ditemukan virus purba yang tersembunyi di dalam gletser Tibet.

Sebenarnya, temuan virus purba tersebut sudah terjadi sejak 1992. Namun, pada tahun 2015 tim peneliti dari Amerika dan China kembali ke dataran tinggi Guliya, Tibet Barat, untuk mengambil kembali sampel virus tersebut.

Berdasarkan hasil analisa, virus tersebut diduga berumur sekitar 520 hingga 15 ribu tahun yang lalu. Memang belum jelas apa efek samping virus tersebut kepada manusia. 

Namun, hal ini mengindikasikan bahwa perubahan iklim drastis memiliki kaitan dengan wabah virus. Ahli dunia setuju bahwa perubahan iklim mampu meningkatkan potensi untuk kembalinya virus-virus purba.

Tak usah jauh-jauh mengambil prediksi di masa depan, contoh konkrit virus purba yang muncul akibat perubahan iklim dan kerusakan alam sudah ada di Indonesia. Virus itu bernama malaria.

Sejarah mencatat malaria adalah salah satu virus purba yang diduga sudah menjangkiti makhluk hidup sejak zaman pra sejarah. Salah satu buktinya adalah catatan-catatan masyarakat kuno seperti penggambaran virus sebagai makhluk gaib. 

Misalnya, di Tiongkok, malaria digambarkan sebagai tiga iblis yang membawa palu, ember besar berisi air dan tungku api. Penggambaran ini menjelaskan gejala malaria yakni palu untuk pusing, ember air untuk menggigil dan tungku api untuk demam.

Catatan tentang malaria ini diduga pertama kali dicatat oleh Nei Tjing pada 2700 sebelum masehi. Lantas, apa kaitan malaria dan alam? Dan, di mana kasus malaria dan alam ini ditemukan?

Ketika Alam Rusak, Virus Purba Bertindak: Kasus di Topoyo Sulawesi Barat

Kasus kaitan rusaknya alam dan munculnya epidemi virus purba ada di Indonesia. Hal ini terangkum dalam disertasi berjudul “Respon Terhadap Penyakit; Studi etnografi perawatan kesehatan penderita malaria di Kecamatan Topoyo, Sulawesi Barat” yang ditulis oleh Yahya, seorang antropolog dari Universitas Hasanuddin.

Topoyo terletak di Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Salah satu yang terkenal tentang tempat ini adalah hamparan kebun sawit yang menggantikan hampir seluruh hutan yang ada di sana.

Pada tahun 1999 hingga 2019 luas hutan di Sulawesi Barat turun drastis dari sekitar 1,131 juta hektar menjadi 62.000 hektar. Ini artinya lebih dari setengah luas hutan di sana habis untuk alih fungsi. Tak hanya sawit, namun hutan dihabisi atas izin pengelolaan hutan (HPH) sejak tahun 1980.

Menurut Yahya, alih fungsi lahan di Topoyo memiliki dampak pada berkembangbiaknya virus malaria. Dalam penelitiannya itu, Yahya menjelaskan bagaimana kerusakan alam, program transmigrasi, dan memindahkan masyarakat, memiliki kaitan dengan tingginya korban malaria.

Sebelum membahas kaitannya, mari kita pahami bagaimana virus malaria ini muncul. Virus ini berasal dari nyamuk berjenis Anopheles yang membawa parasit plasmodium. Nama malaria berasal dari pandangan Hippocrates pada tahun 370 sebelum masehi yang merujuk pada hawa busuk dari rawa di mana mal artinya busuk dan aria artinya udara.

Hippocrates pada tahun itu mengatakan bahwa sebab kemunculan malaria adalah udara busuk yang tidak sehat. Baru pada tahun 1870 Charles Lois Alphonse Laveran menemukan malaria berasal dari plasmodium.

Penyebaran malaria dikenal dengan trias malaria yakni terdapat penyebab, inang, dan lingkungan. Virus yang dibawa oleh nyamuk akan masuk ke dalam tubuh manusia sebagai inang atau induk dari virus tersebut. Kemudian, nyamuk yang menghisap darah manusia yang terjangkit akan membawa dan mengembangbiakkan virus tersebut.

Lantas, apa hubungannya dengan lingkungan? Dan bagaimana kerusakan alam dapat menyebabkan penyebaran virus ini lebih ganas?

Lingkungan yang Seperti Apa yang Menyebabkan Wabah Malaria?

Jika bicara tentang habitat nyamuk, antara hutan dan permukiman warga, mungkin hutan punya lebih banyak nyamuk. Lalu, mengapa ketika hutan ditebang? Justru malaria mewabah? Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan kasus ini.

Pertama, alih fungsi lahan, khususnya hutan menyebabkan struktur tanah menjadi absurd. Munculnya kubangan kecil, sumur kecil dan genangan lainnya yang membuat nyamuk dapat berkembangbiak. Selain itu, tutupan hutan yang hilang membuat genangan air ini terkena sinar matahari.

Jentik nyamuk yang terkena sinar matahari akan lebih sehat dan perkembangbiakkan nyamuk akan semakin masif. 

Kedua, nyamuk lebih banyak menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Dulu, ketika nyamuk hidup di dalam hutan, mereka lebih banyak menghisap darah binatang ketimbang darah manusia.

Ketika alih fungsi lahan meratakan sebagian besar hutan, maka hilang pula habitat para binatang. Hasilnya, nyamuk yang tadinya di hutan kini hidup bersama manusia. Ketika nyamuk hidup dengan manusia, maka siklus trias malaria menjelaskan bagaimana virus ini berkembang biak.

Sederhananya, nyamuk pembawa virus malaria yang tadinya hidup di hutan kini pindah karena hutannya habis dibabat. Jadi salah siapakah epidemi virus malaria ini? Bagaimana dengan virus lainnya saat ini?

 

Sumber:

Putri, Aditya Widya. 2020. Ancaman Mutasi Virus dan Kemunculan Virus Purba. Tirto edisi 12 Februari 2020.

Rusdianto, Eko. 2019. Kala Alih Fungsi Hutan Naikkan Risiko Malaria. Mongabay edisi 5 Desember 2019. 

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments