Tingginya penggunaan batu bara sebagai pasokan listrik negara membuat limbah batu bara menumpuk. Diperkirakan, FABA (Fly Ash and Bottom Ash) atau limbah batu bara ini akan mencapai 16,2 juta ton pada tahun 2027.
Hal ini merujuk pada data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM pada tahun 2018. Mereka memprediksi kebutuhan batu bara Indonesia hingga tahun 2027 mencapai 162 juta ton. Artinya, diprediksi limbah yang dihasilkan mencapai 10 persen dari total tersebut.
Jumlah tersebut tentu mengkhawatirkan. Sebelum pencabutan FABA sebagai limbah non-beracun, PP No. 101 Tahun 2014 menyebut FABA merupakan limbah B3. Ini kemudian menjadi polemik. Pasalnya, tak semua FABA dapat dimanfaatkan. Bahkan, sebagian besarnya hanya ditimbun saja.
Data aktual menyebutkan pada tahun 2016, produksi FABA mencapai 4,6 juta ton per bulan, terdiri limbah dari PLN 3,26 juta ton dan IPP 1,33 juta ton. PLN kemudian merinci produksi FABA Pulau Jawa hingga 2027 akan mencapai 11,18 juta ton per bulan. Jumlah tersebut terdiri dari PLN 6,5 juta ton dan IPP sekitar 4,6 juta ton.
Dari jumlah tersebut, total penyerapan limbah PLN dan IPP oleh perusahaan semen dan beton dari tahun 2012-2027 akan mencapai 7,16 juta ton per tahun. Sementara total penimbunan ash mencapai 15,36 juta ton.
Dengan demikian diperkirakan kebutuhan lahan untuk penimbunan FABA memerlukan luas 229,62 hektare (ha). Angka tersebut pula memerlukan penyerapan limbah FABA yang dilakukan oleh perusahan semen.
Saat ini, limbah FABA dimanfaatkan oleh empat industri, yaitu pabriksemen Holcim, Semen Gresik, Indocement dan pabrik Wika Beton. Sayangnya, pemanfaatan ini hanya terjadi di Pulau Jawa. Sedangkan pemanfaatan FABA di luar Jawa masih minim.
Contohnya adalah di PLTU Ombilin Sumatera Barat. Pada tahun 2016, PLTU tersebut menghasilkan 400 ton FABA sehari. Dengan daya serap pemanfaatan FABA yang minim, lantas limbah ini akan berakhir di tempat pembuangan akhir. Alias, hanya ditimbun.
Di Balik Pencabutan Status Limbah Berbahaya pada FABA
Ada alasan mengapa Presiden Jokowi mencabut status limbah berbahaya pada limbah batu bara. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 459 disebutkan,
“Pemanfaatan Limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash (debu,red) batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan,” demikian tertulis dalam beleid itu.
Salah satu alasannya adalah potensi pemanfaatan FABA. Pada sejumlah negara seperti Amerika Serikat, China, India, Jepang, dan Vietnam, limbah batu bara dimanfaatkan untuk keperluan bahan baku konstruksi. Negara-negara tersebut juga menghapus status FABA sebagai limbah berbahaya atas dasar sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa FABA tak berbahaya.
FABA dapat diolah menjadi campuran semen untuk pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Hal ini dilihat sebagai jalan keluar FABA yang menumpuk di Indonesia.
Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida menyebut tingkat pemanfaatan FABA di Indonesia sangat minim. Pemanfaatannya hanya 0 persen-0,96 persen untuk fly ash dan 0,05 persen-1,98 persen untuk bottom ash.
Pendek kata, menghapuskan status FABA sebagai limbah berbahaya membuat perusahaan secara legal dapat memanfaatkan FABA. Baik secara ekologis maupun secara nilai ekonomis.
Dusta di Balik Bahaya Faba
Apakah benar FABA tidak berbahaya? Mari simak beberapa pendapat berikut. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut FABA punya dampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitarnya. Limbah batu bara tersebut mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal dan logam berat lainnya.
“Dampaknya jika terbang di udara akan menganggu kesehatan pernafasan manusia yang menghirup, lalu kalau mengalir ke air akan merusak biota laut, sungai dan pesisir, dan air juga menjadi asam,” kata Johansyah selaku Koordinator Jatam, mengutip BBC, Kamis (11/03/2021).
“Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru. Lalu di Kalimantan Timur, abunya masuk ke sumber air warga saat hujan, dan terbang masuk ke rumah saat musim kering,” imbuhnya.
Terkait dampak kesehatan, FABA terbukti menyebabkan penyakit coal workers pneumoconiosis atau penyakit paru akibat debu batu bara. Hal ini disampaikan oleh Guu besar pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi dari Universitas Indonesia, Faisal Yunus.
“Abu batu bara akan menjadi jahat karena terjadi komplikasi. Gejalanya, batuk-batuk, dahak warna hitam, sesak nafas, hingga gagal pernafasan yang menyebabkan kematian,” ungkapnya, mengutip BBC, (12/03/2021).
Atas pernyataan tersebut, maka pencabutan status FABA sebagai limbah berbahaya menjadi janggal.
Pola Sama, Apakah Tailing Papua akan Bernasib Serupa?
Antara FABA dan Tailing, keduanya memiliki kemiripan. Ada dua alasan yang menjadikan kasus tailing Papua mirip dengan FABA. Pertama, pembuangan FABA dan tailing yang mulai tak terkendali.
Kita ketahui hingga saat ini, tailing atau limbah pertambangan mineral menjadi masalah bagi masyarakat Papua. Limbah tersebut mengalir pada sungai-sungai di Papua, bahkan menjadi gunung dan pulau baru di negeri Cenderawasih itu.
Kita tidak bisa menafikan kasus rembesan tailing pada tahun 2019 yang membahayakan 7.506 warga Mimika. Limbah tersebut mengisolasi sejumlah wilayah, yakni 3.367 warga Distrik Mimika Timur, 930 orang di Distrik Agimuka, 1.688 Distrik Alama, dan 1.521 Distrik Jita, terisolasi limbah.
Kedua, pemanfaatan tailing sebagai campuran bahan konstruksi.Akhir tahun 2020 lalu, Kementerian PUPR bekerja sama dengan PT Freeport memanfaatkan limbah tailing sebagai campuran bahan pembangunan jalan Trans Papua.
Johansyah menyebut bahwa alasan pencabutan status limbah B3 pada FABA terkait persoalan nilai ekonomis. Jika FABA tak lagi termasuk dalam kategori limbah berbahaya, maka biaya perusahaan dalam mengolah limbah tersebut.
“Itu diciptakan untuk menyembunyikan kepentingan sesungguhnya, yaitu mengurangi biaya perusahaan yang besar dalam mengelola limbah dan melepas tanggung jawab sosial dan kesehatan ke masyarakat,” jelas Johan.
Artinya, boleh jadi kedepannya status tailing sebagai limbah berbahaya akan dicabut untuk kepentingan yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa tailing dan FABA memiliki pola yang sama, yakni potensi pemanfaatannya dan nilai ekonomisnya. Jika terbukti tailing bermanfaat untuk campuran bahan konstruksi, maka tak lain limbah penambangan mineral ini pula memiliki nilai ekonomis Jika demikian, akankah tailing bernasib sama dengan FABA? Akankah tailing akan dihapuskan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 sebagai limbah berbahaya?
“Tailing diklasifikasikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan kategori bahaya 2,” sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun (2014).
Sebagian orang menganggap ini adalah solusi dari penimbunan tailing dan FABA yang tidak terkendali. Atau, ini adalah awal dari pelegalan pembuangan dua limbah tersebut secara masif tanpa memperhatikan aspek lingkungan lantaran dianggap tidak berbahaya?
Sumber:
Arumingtyas Lusia, Indra Nugraha. 2019. Peta Jalan Pengelolaan Limbah dan Kajian Lingkungan Freeport, Seperti Apa? Mongabay Edisi 10 January 2019
Lumbanrau, Raja Eben. 2021. Jokowi cabut abu batu bara dari daftar limbah berbahaya dan beracun: Dampak buruk bagi kesehatan paru-paru dan ‘ilusi’ daur ulang limbah. BBC News Edisi 12 Maret 2021.
Redaksi. 2016. Kapasitas PLTU Bertambah, Aturan Limbah Harus Diperjelas. Dunia Energi edisi 26 Agustus 2016.
Tanpa Nama. 2020. Batu Bara Bukan Solusi Bagi Warga Papua Barat Keluar dari Kemiskinan. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Edisi 29 April 2020.
TBG. 2020. Abu Batu Bara (FABA) Sebagai Bahan Bangunan, Pencegahan Air Asam Tambang dan Pupuk. Badan Penelitian Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral edisi 10 September 2020.