HomeKabar BintuniApakah Food Estate Solusi dari Krisis Pangan?

Apakah Food Estate Solusi dari Krisis Pangan?

Program Food Estate. Foto: Inonesiabaik

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendorong dunia untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Hal ini mengacu pada kondisi pandemi yang meningkatkan kerawanan pangan dan gizi.

Bayangkan, akibat pandemi banyak pemutusan kerja yang menurunkan daya beli masyarakat. Tak hanya itu, rantai produksi yang terganggu membuat pasokan pangan berkurang. Menanggapi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mencanangkan 4 Cara Bertindak (CB) untuk menjaga kebutuhan stok pangan nasional.

Mengutip laman resmi Kementan, 4 cara tersebut mencakup: Pertama, peningkatan kapasitas produksi. Kedua, diversifikasi pangan lokal. Kementan akan mengembangkan diversifikasi pangan lokal berbasis kearifan lokal yang berfokus pada satu komoditas utama. 

Ketiga, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan dengan cara penguatan cadangan beras pemerintah provinsi (CBPP), kemudian penguatan cadangan beras pemerintah kabupaten/kota (CBPK). 

Keempat, pengembangan pertanian modern, caranya melalui pengembangan smart farming, pengembangan dan pemanfaatan screen house untuk meningkatkan produksi komoditas hortikultura di luar musim tanam, pengembangan korporasi petani, dan pengembangan food estate untuk peningkatan produksi pangan utama (beras/jagung).

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebut bahwa tujuan utama Food Estate adalah ketahanan pangan nasional. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Ali Jamil menambahkan terdapat 4 target dari Food Estate yang sedang dikembangkan, antara lain:

Pertama, terlaksananya penataan ruang dan pengembangan infrastruktur wilayah untuk kawasan sentra produksi pangan yang berkelanjutan. Kedua, meningkatnya produksi, indeks pertanaman dan produktivitas pangan melalui pertanian presisi.

Ketiga adalah terbangunnya sistem logistik, pengolahan dan nilai tambah, distribusi dan pemasaran berbasis digital. Keempat, terbangunnya korporasi petani yang mampu dan berdaya guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan petani.

Kelima, meningkatnya daya dukung ekosistem hutan dan gambut untuk mendukung keberlanjutan kawasan sentra produksi pangan. 

Meragukan Program Food Estate

Program Food Estate menargetkan pembangunan lumbung pangan di 5 wilayah. Antara lain: Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha). Target terbesar berada di Papua dengan total luas 1,2 juta hektare.

Persoalannya, program lumbung pangan Indonesia belum memiliki rekam jejak yang baik. Contohnya, pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, Kalteng (1996). Program itu gagal lantaran jenis padi IR 66 dan padi jenis SAM yang ditanam Menteri Pertanian saat itu, Sjarifudin I Baharsjah, yang tidak cocok dengan tanah rawa gambut. Program tersebut tak lain menjadi janji usang.

Pemerintah kemudian tak berhenti menggarap program Food Estate. Pada era SBY, pemerintah melakukan setidaknya 3 program yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011); Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011); dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013).

Masyarakat Malind Anim, Papua, menjadi korban dari program MIFEE di era SBY. program tersebut secara eksplisit memindahkan hutan dan sumber pangan Masyarakat Adat Malind Anim ke tangan korporasi.

Kegagalan ini kemudian menjadi alasan mengapa program Food Estate di era Jokowi kembali dipertanyakan. Pasalnya, Kurangnya kawasan non hutan untuk proyek food estate membuat pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.24/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate pada tahun 2020.

“Ini bukan pembangunan, ini sebuah ancaman baru yang akan memarjinalkan orang Papua lagi di wilayah yang berbeda,” ungkap Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif Walhi Papua.

“Program ini akan semakin menjauhkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas tanah dan hak untuk hidup. Bahkan potensi konversi dan deforestasi akan menjauhkan relasi sakral kami dengan alam. Bagi kami orang Papua, hutan seperti mama, ia menyediakan berbagai kecukupan, bahkan beragam ritual bergantung pada kelestarian alam,” tambah Aiesh.

Lantas, sudah tepatkah program food estate?

 

Sumber:

Nipitupulu, Lucentezza, dkk. 2021. 3 Alasan ‘Food Estate’ Belum Menjawab Agenda Ketahanan Pangan dan Gizi. WRI Indonesia edisi 30 Januari 2021.

Redaksi Tempo. 2021. Food Estate, Program Ketahanan Pangan yang Sukses di Masa Pandemi. Tempo edisi 22 Agustus 2021.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments