HomeKabar BintuniAkhir Perjalanan Industri Sawit Sorong: Masyarakat Adat Akan Mendapatkan Haknya

Akhir Perjalanan Industri Sawit Sorong: Masyarakat Adat Akan Mendapatkan Haknya

Kebijakan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat. Foto: Istimewa

Buntut dari pencabutan izin industri kelapa sawit di Sorong di Distrik Konda, Teminabuan, Moswaren, Saifi dan Seremuk, berakhir pada kedaulatan masyarakat adat. Mereka memiliki hak untuk  mengelola dan memanfaatkan lahan dan hasil hutan di wilayah adat berdasarkan inovasi pengetahuan adat setempat, mandiri, adil dan lestari.

Hal ini disampaikan dalam Dialog Kebijakan yang berlangsung di Gedung Putih Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan, pada 08 – 09 November 2021. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial di Sorong Selatan memberikan kesempatan masyarakat adat Sorong untuk menyampaikan aspirasinya.

Salah satunya, misalnya, Sopice Sawor, tokoh perempuan adat dari Distrik Konda. Ia mengaku warganya sedang dalam proses membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting. Ini sebagai bentuk tuntutan masyarakat adat agar pemerintah segera memberikan pengakuan dan mengembalikan hak mereka.

“Saat ini, kami masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah duduk dan sedang membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting, yang kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat”, ungkap Sopice Sawor, tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, pada siaran pers (08/11/2021).

Dalam dialog itu terdapat 9 substansi usul masyarakat adat yang menjadi usulan bagi rancangan kebijakan peraturan daerah. Pertama, hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya.

Kedua, hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat. Ketiga, hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan. Keempat, hak untuk menentukan pembangunan.

Kelima, hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat. Keenam, hak perempuan adat. Ketujuh, hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat. Kedelapan, hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Terakhir, hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat. Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, menyebut aspirasi ini merupakan hak konstitusional masyarakat adat yang harus dipenuhi negara.

Dialog ini diikuti oleh perwakilan masyarakat adat dari i Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais. Kemudian dihadiri pula Kais Darat dan Inanwatan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, AMAN Sorong Raya. 

Turut hadi juga Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI,GAMKI, GMNI dan relawan pemuda.

DPRD Sorong: Kami Lakukan Diskusi Rancangan Perda Pengakuan Masyarakat Adat

Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Theodorus H. Thesia, SH., MH., serta Sekretaris DPRD Sorong Selatan, Yoseph Bless, SH., MH., mengatakan telah menerima aspirasi rakyat. Hal ini akan diimplementasikan dalam bentuk raperda dan salah satu program legislasi tahun 2021.

“DPRD Kabupaten Sorong Selatan telah melakukan sidang pleno mendiskusikan rancangan perda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Sorong Selatan, namun masih diperlukan pembobotan dan masukkan materi rancangan perda”, jelas Theodorus H. Thesia.

Ketua Bapemperda, Agustinus M. Way menyebut bahwa raperda ini akan dipercepat. Ia memastikan raperda berjalan bulan Desember 2021 ini. Ia menerima seluruh masukan masyarakat adat dalam rangka memperkaya legal drafting, termasuk penyelesaian

naskah akademik.

“Kami usahakan ranperda ini dipastikan Desember 2021 ini, DPRD sedang menyusun tahapan proses pembahasan dan akan dipaketkan dengan APBD induk untuk mempercepat pembahasan,” ungkap Agustinus Way.

Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa ini adalah akhir yang baik dari perjalanan pencabutan izin industri sawit. Inisiatif DPRD merupakan angin segar yang menjawab keresahan masyarakat adat.

“Inisiatif DPRD ini sesuatu yang membahagiakan dan menjawab harapan masyarakat. Greenpeace akan selalu bersama mitra pembangunan dan sebagainya, akan siap mem back up, surat yang disampaikan DPRD kepada mitra pembangunan, bagian penting dari diskusi itu, kita akan berdiskusi untuk pembobotan, termasuk juga nasakah akademi dan legal drafting”, ungkap Nicodemus Wamafma.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments