HomeKabar Bintuni8 Tahun Lebih Ekspansi Komersialisasi Hutan Ancam Kehidupan Suku Marind

8 Tahun Lebih Ekspansi Komersialisasi Hutan Ancam Kehidupan Suku Marind

Komersialisasi hasil hutan Suku Marind. Foto: istimewa

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2021, komersialisasi hasil hutan telah mengancam kehidupan Suku Marind, di Kampung Zanegi, Distrik  Animha, Kabupaten Merauke. Rilis dari Yayasan Pusaka menyebut nama perusahaan terkait aktivitas tersebut.

Dalam siaran pers tersebut, disebutkan bahwa perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI)

PT. Selaras Inti Semesta (SIS) aktif melakukan kegiatan penebangan pohon sejak tahun 2009 di Kampung Zanegi dan Kampung Buepe, Distrik Kaptel.

Meski pasca tahun 2016 perusahaan tersebut sempat vakum, pada tahun 2020 mereka kembali melakukan penebangan pohon. Kegiatan tersebut dinilai warga mengganggu kehidupan sehari-hari.

“Hutan sumber kehidupan masyarakat adat. Hutan hilang dan lingkungan rusak akan mengakibatkan masyarakat kesulitan mencari makan, mata pencaharian susah dan kesehatan masyarakat terganggu,” ungkap Bonefasius Gebze,  tokoh masyarakat di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke.

Aktivitas penebangan pohon oleh PT SIS. Foto: istimewa

Selain itu, Bonefasius mengaku bahwa perusahaan tidak menanggapi permintaan masyarakat untuk menaikkan kompensasi pemanfaatan kayu dan sewa tanah. Pasalnya, menurut informasi, pemanfaatan kayu dari wilayah Kampung Zanegi digunakan untuk energi biomassa pembangkit listrik. Namun, bukan untuk listrik Kampung Zanegi.

Menurut pengakuan Vitalis Gebze terkait kompensasi, PT. SIS memberikan uang kompensasi sebesar Rp 2,500 per kubik. Jumlah ini adalah jumlah yang sama sejak tahun 2010.

“Saat ini, perusahaan PT. SIS memberikan uang kompensasi sebesar Rp 2,500 per kubik. Jumlah ini sama dengan kompensasi tahun 2010 dan kehidupan ekonomi masyarakat tidak ada perkembangan, padahal hutan sudah rusak,” jelas Vitalis Gebze, warga Kampung Zanegi.

Masyarakat Belum Paham dan Menyepakati Perjanjian Soal Lahan

Warga Suku Marind. Foto: istimewa

Menurut investigasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan SKP Keuskupan Agung Merauke, belum semua masyarakat paham dan menyepakati tentang perjanjian aktivitas komersialisasi hasil hutan tersebut.

Dalam rilisnya, dijelaskan bahwa masyarakat tidak diberikan informasi dan konsultasi yang jujur terkait Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI). 

Hal itu mencakup informasi terkait kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, pembangunan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Seluruh aspek tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Terkait kompensasi, PT. SIS berdalih sudah mengikuti ketentuan sesuai yang diatur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012 tanggal 31 Desember 2012 tentang Standar Kompensasi atas Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Dalam perjanjian yang ditandatangi pada 12 Desember 2009 itu tertulis bahwa kompensasi atas kayu hasil panen adalah: (1) Rp. 2000 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan alam; (2) Rp. 1500 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan tanaman.

PT. SIS telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan No. SK.18/MENHUT-II/2009 tanggal 22 Januari 2009, dengan luas konsesi 169.400 ha, lebih kurang dari Kabupaten Bandung, Jawa Barat (176.796 ha), dengan waktu izin beroperasi perusahaan selama 60 tahun dan dapat ditambahkan 35 tahun.

Diketahui perusahaan HTI PT. SIS merupakan Perusahaan Modal Asing (PMA) yang berhubungan dengan Medco Group. 

Pemerintah Didesak untuk Serius Menanggapi Permasalahan Suku Marind

Aktivitas komersialisasi hasil hutan di di Kampung Zanegi, Distrik  Animha, Kabupaten Merauke sangat mengancam kehidupan Suku Marind. Laporan dari Yayasan Pusaka menyebutkan aktivitas tersebut minim penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat setempat

Selain itu, bisnis eksploitasi hasil alam tersebut sarat akan perlindungan lingkungan hidup, murahnya nilai hasil hutan produktif, serta nilai bagi hasil yang tidak adil. Hal serupa juga pernah dibahas dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Sophie Chao, seorang peneliti dari University of Sydney.

Dalam tulisannya, masyarakat Marind yang tinggal di Desa Khaolayam punya hubungan khusus dengan alam. Sagu dan hutan merupakan tumbuhan yang sakral bagi mereka. Masyarakat Marind bahkan menganggap sagu sebagai leluhur mereka. 

Bagi mereka, memotong sagu sama saja memotong manusia. Perhatikan kalimat berikut ini,

“Kelapa sawit membunuh sagu. Kelapa sawit membunuh kerabat kami. Kelapa sawit mencekik sungai kami. Kelapa sawit menguras tanah kami.”

Itu adalah kutipan lirik lagu yang dibawakan oleh Gerardus Gebze, seorang warga asli Marind Anim di Merauke. Sophie mencatat lirik tersebut dalam jurnal penelitiannya dan menganalisa maksud lagu tersebut.

Hal ini menunjukkan aktivitas eksploitasi hasil alam bukanlah masalah sederhana bagi masyarakat Marind. Terkait hal tersebut, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan SKP Keuskupan Agung Merauke mendesak pemerintah segera melakukan langkah efektif terkait penegakkan hak masyarakat Marind.

“Gubernur Provinsi Papua harus meninjau kembali Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012, yang berpotensi mempercepat penghancuran hutan Papua dan angka bagi hasil yang tidak adil, tidak berpihak pada masyarakat adat setempat” jelas Franky Samperante, aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Sumber:

Chao, Sophie. 2019. Sago: A Storied Species of West Papua. Researchgate

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments