Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Namun, hingga kini pemerintah belum membentuk peraturan mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati. Padahal, hal ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 102 KUHP baru yang menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati harus diatur dalam undang-undang. Jika aturan ini tidak segera dibuat, akan timbul ketidakpastian hukum dalam eksekusi pidana mati.
“Tanpa pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut, aparat penegak hukum (polisi, jaksa/KPK, dan hakim) akan kesulitan dalam menegakkan hukum sesuai ketentuan dalam Pasal 100 hingga Pasal 101 KUHP,” kata Yohanes Akwan, S.H., MAP., C.L.A., Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti.
Lebih lanjut, Yohanes menyoroti ketentuan dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP yang mensyaratkan penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun, dengan mempertimbangkan ‘adanya penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri terdakwa’.
“Bagaimana mungkin hakim bisa memastikan persyaratan itu terpenuhi hanya berdasarkan interaksi terbatas dengan terdakwa selama persidangan?,” tegasnya.
Ia juga mengkritik ketidakkonsistenan antara Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 100 ayat (4) KUHP. Dalam Pasal 100 ayat (4), disebutkan bahwa jika selama masa percobaan 10 tahun terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, dalam tahap ini, pelaku sudah berstatus sebagai terpidana, yang sepenuhnya berada dalam pembinaan Lembaga Pemasyarakatan.
Karena itu, Yohanes mendesak pemerintah untuk segera merevisi Pasal 100 ayat (1) agar hakim tidak dibebani pertimbangan yang sulit dipenuhi dalam menjatuhkan pidana mati.
“Independensi hakim harus dihormati sebagaimana dijamin dalam Konstitusi UUD 1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (6) KUHP, jika terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan 10 tahun, maka pidana mati akan tetap dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” ujarnya.
Permasalahan lain muncul jika permohonan grasi terpidana mati ditolak oleh Presiden, tetapi pidana mati tidak segera dieksekusi dalam kurun waktu 10 tahun. Dalam kondisi tersebut, Pasal 101 KUHP memungkinkan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup melalui Keputusan Presiden. Namun, aturan ini masih menyisakan ketidakjelasan karena tidak mengatur secara rinci mengenai batasan waktu pelaksanaan eksekusi.
“Mandeknya pelaksanaan eksekusi hingga 10 tahun ternyata tidak diatur secara tegas dalam penjelasan ketentuan ini,” ungkap Yohanes.
Yohanes menegaskan bahwa pemerintah harus segera menyusun aturan pelaksanaan pidana mati dalam undang-undang tersendiri untuk menghindari ketidakpastian dan kebingungan dalam implementasinya di masa mendatang.